"Menumbuhkan semangat kerja yang jalin-menjalin dengan disiplin nasional, harus tercermin . . . dalam setiap mata acara TVRI. Upaya itu tidak akan berhasil. . . apabila mata-mata acara TVRI banyak diwarnai dengan lagu yang disebutnya sebagai 'ratapan patah semangat berselera rendah/ 'keretakan rumah tangga/ atau 'hal-hal cengeng/ . . . Dalam keadaan patah semangat dan cengeng, tentulah sulit mengajak orang bekerja keras. Padahal apa yang digambarkan itu bukanlah kenyataan di tengah masyarakat."
Menurut hemat penulis, Pak Harmoko melakukan pelarangan ini atas dasar premis, "Lagu-lagu cengeng mematikan semangat kerja." Sehingga, sebagai menteri penerangan Beliau merasa perlu melarangnya demi the greater good of national development. Ini adalah sebuah cara berpikir yang keliru. Mengapa? Sebab individu memiliki preferensi dan tujuan yang berbeda ketika mendengar lagu cengeng.
Betul, ada yang mendengar lagu cengeng karena sedang sedih dan patah semangat. Ada yang memang menggemari suara mendayu para penyanyinya. Bahkan, ada yang menyukai liriknya yang jujur apa adanya.Â
Namun, semua preferensi tersebut memiliki satu persamaan; Sama-sama menjadikan lagu cengeng sebagai safety valve (Yampolsky, 1989:7). Sebuah katup yang mengeluarkan ekspresi perasaan individu dalam lubuk hati. Kemampuan berekspresi inilah yang justru mendorong semangat kerja individu dalam jangka panjang.
Dengan melarang lagu cengeng, pemerintah sudah mematikan kebebasan berekspresi warga negara. Obbie Messakh dan Betharia Sonata sebagai insan musik dimatikan kebebasannya untuk mengekspresikan conscience mereka.Â
Sementara, masyarakat sebagai pendengar kehilangan hak untuk mengekspresikan unek-unek mereka lewat jenis musik tertentu. Dengan kata lain, pemerintah sudah terlalu ikut campur dalam public taste.
Kedua, represi terhadap kebebasan ekonomi. Dalam konteks ini, konsumen mengalami pengurangan pilihan produk karena intervensi pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah berusaha agar pasar tidak menyediakan pilihan lagu cengeng bagi konsumen.Â
Selain itu, produsen musik juga dipaksa untuk tidak menelurkan lagu cengeng. Padahal, dalam perekonomian yang bebas, produsen menyediakan apa yang sesuai selera konsumen.
Bahkan, Yamplosky (1989:7) memberikan kontras kebijakan ekonomi di era tersebut (masih ingat PAKTO 88?) dengan pelarangan rezim Orba terhadap lagu cengeng macam Hati yang Luka berikut ini:
Others asked whether in what was being touted as an era of deregulation the government should really be trying to legislate public taste and entertainment.Â
Sehingga, semangat pemerintah untuk berderap menuju perekonomian yang bebas di-counter oleh kebijakannya sendiri dalam industri musik. Aneh dan cacat pikir, bukan? Itulah sebabnya pelarangan lagu cengeng menjadi contoh buruk dalam pengambilan kebijakan publik.