Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hati yang Luka, Refleksi dari Berbagai Represi

11 Januari 2020   06:40 Diperbarui: 11 Januari 2020   07:08 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: youtube/Musica Klasik

"Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku..."

Larik di atas adalah salah satu syair paling ikonik dari musik Indonesia. Penulis yakin setiap orang pasti pernah mendengarnya. Setidaknya sekali dalam hidup mereka. Mengapa? Sebab lagu berjudul Hati yang Luka ini sudah menjadi bagian dari sejarah budaya Indonesia modern. Ia adalah cerminan dari masa lalu kita. Sebuah masa lalu yang masih relevan hingga kini.

Mengapa relevan? Sebab melankolisme masih melekat di masyarakat kita. Pada era 80an, kita melampiaskan rasa tersebut dengan lagu cengeng. Istilah ini lekat dengan lagu-lagu pop sendu, penyanyi bersuara mellow nan mendayu, dan irama yang pelan. Lagu-lagu ciptaan Rinto Harahap dan Obbie mendominasi kategori ini. Namun, Hati yang Luka menonjol sebagai creme de la creme di antara yang lain. 

Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Lagu yang terjual 1,3 juta keping ini bercerita tentang seorang wanita yang disiksa oleh suaminya. Mengalami KDRT dalam rumah tangga, ia memutuskan untuk pergi pulang ke rumah orangtuanya. B

erbeda dengan lagu-lagu Loretta Lynn yang melawan suami abusive, Obbie Messakh justru menceritakan sosok wanita yang pasrah. Ditambah dengan suara Betharia Sonata yang mendayu-dayu, melodi yang ikonik, dan video klip yang figuratif-eksplisit menambah sedih lagu ini. Melihat dan mendengarnya serasa diayun-ayun dalam kesedihan sang wanita.

Kesedihan inilah yang menjadi sumber represi pertama. Represi terhadap kaum wanita. Sebagai pencipta lagu, Obbie Messakh mengangkat kenyataan wanita Indonesia pada waktu itu. Khususnya posisi mereka dalam rumah tangga. Sebagai manusia, wanita dianggap sebagai "warga kelas dua" yang tidak bisa melawan. Ditampar suami, disakiti hatinya, ia hanya mampu kabur ke rumah orang tua. Bahkan, Yampolsky (1989:3) mengatakan demikian:

But it seems to me to be quite realistic: divorced or abandoned women in Indonesia are in a socially exposed and suspect position, and to go home and be seen as submitting to parental restraint is often the best of their few options.

Sehingga, lagu ini menjadi ekspresi dari kedudukan gender dalam sebuah masyarakat patriarkal. Memang, tidak semua laki-laki melakukan kekerasan pada istrinya. Namun, lagu ini mengajak kita semua untuk menghormati harkat martabat wanita dan istri sebagai manusia, as an equal partner with innate superiority.

Selain represi terhadap kaum wanita, lagu ini juga merefleksikan dua represi lain. Namun, keduanya muncul dari dinamika sosial-politik dan pemerintahan yang muncul dari lagu ini. Bukan dari dalam lagu ini sendiri. Meski demikian, dua represi ini menjadi penindasan paling kentara bagi masyarakat kita. Apa saja represi tersebut?

Pertama, represi terhadap kebebasan berekspresi. Rabu, 24 Agustus 1988 menjadi hari yang menandai tekanan pemerintah ini. Menteri Penerangan Harmoko menyatakan serangan berikut ini dalam pidatonya pada HUT TVRI (Yampolsky, 1989:6):

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun