Dalam kasus ini, Pak Anies bertindak selayaknya Machiavellian Leader. Beliau melakukan berbagai upaya manipulasi dari isu ini. Beliau melakukan flattery dengan menyatakan anak-anak paling senang bermain dalam banjir di Kampung Pulo.Â
Sincerity juga ditunjukkan di depan awak media dengan nyebur mengunjungi berbagai titik banjir. Lantas, ke mana saja Beliau dari kemarin? Konsep naturalisasi sungai saja tidak jalan-jalan. Padahal, Beliau menyatakan bahwa hasil naturalisasi akan terlihat di akhir 2019.
Semarang dan Surabaya sudah berhasil mengatasi banjir di wilayahnya. Padahal, anggaran penanggulangan banjir mereka lebih kecil dibanding DKI Jakarta. Terlihat, bukan?Â
Bahwa ada kepemimpinan yang sengaja berkutat dalam myriad nya sendiri. Sengaja agar perkembangan penanganan banjir terhambat. Bahkan, ketika diundang untuk membahas konsep naturalisasi bersama Kementerian PUPR, Beliau hanya mengirim staf yang tidak mengerti konsep tersebut. Akhirnya, rakyat Jakarta tidak melihat dampak positif naturalisasi, justru mereka malah dilanda banjir.
Jadi, bencana banjir 2020 menjadi teguran bagi kita semua. Sebuah teguran untuk mencintai alam dan tidak membuang sampah sembarangan. Teguran juga agar kita lebih peduli terhadap sesama. Dan sebuah teguran juga untuk tidak memilih pemimpin sembarangan.
"Kalo palanya bener, buntutnya juga pasti ikutan bener." Banjir kali ini menjadi bukti konkret dari pernyataan tersebut.
SUMBER
tirto.id. Diakses pada 3 Januari 2020.
tribunnews.com. Diakses pada 3 Januari 2020.
tribunnews.com. Diakses pada 3 Januari 2020.
youtube.com. Diakses pada 3 Januari 2020.
psychologytoday.com. Diakses pada 3 Januari 2020.
Disclaimer:Â Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.Â
Link:Â qureta.com.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI