Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sosok Pak RT Bolot dan Institusi Ekstraktif

30 Desember 2019   13:35 Diperbarui: 30 Desember 2019   14:06 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: jambi.tribunnews.com

Siapa di sini yang gemar menonton Ini Talk Show di NET. TV? Kalau ada yang bertanya begitu, penulis pasti menjadi salah satu yang mengacungkan jari. Acara bincang-bincang berselimut komedi ini adalah salah satu acara favorit penulis dari televisi Indonesia. Dalam satu paket acara, berbagai unsur komedi, pelajaran kehidupan, dan penggalian fakta berhasil dipadukan dalam kemasan yang ciamik. Lantas, apa yang membawa penulis untuk menyukai acara ini?

Triumvirat Andre, Sule, dan Nunung memang sudah lucu dari awal. Apalagi chemistry di antara tiga pelawak kawakan ini memang sudah terjalin sejak era Opera van Java. Ketika Sule/Andre membuat kelucuan dan Nunung terbahak-bahak, penonton niscaya ikut tertawa. Akan tetapi, ada satu karakter yang membuat penulis benar-benar cinta dengan acara ini. Siapakah tokoh tersebut?

Karakter itu adalah Pak RT Bolot. Pelawak dengan nama asli Muhammad Sulaeman Harsono ini membawakan tokoh yang sudah Beliau perankan sejak era 90an. Dengan peci dan baju safari khasnya, Beliau menjadi seorang ketua RT dengan selective hearing. "Kupingnya milih kayak TPS," tandas Sule pada salah satu episode. Beliau hanya bisa mendengar kalau diberikan uang, makanan, kopi, atau diajak bicara oleh wanita cantik. Bahkan, beberapa wanita yang dianggap (maaf) tidak memenuhi stereotipe cantik sering dibudegin oleh Beliau.

Sehingga, pura-pura tuli menjadi senjata komedi bagi pelawak senior satu ini. Dengan ketuliannya, Beliau bisa membalikkan umpan yang diberikan oleh pembawa acara maupun bintang tamu. Seringkali, balasan Beliau tidak nyambung dengan apa yang ditanyakan lawan main. "Gimana kabarnya Pak RT?" tanya Sule. "Sendiri aja," jawab Pak RT. Dampaknya, lawan main menjadi kesal dan menciptakan comedic spark baru dari kegemasan mereka.

Akan tetapi, penulis melihat ketulian Pak RT Bolot lebih dari sekedar senjata komedi. Ia adalah sebuah bentuk satir politik dari birokrasi yang inefisien. Acemoglu dan Robinson (2017) mengistilahkannya sebagai institusi ekstraktif. Dengan kata lain, institusi-institusi publik yang hanya menyedot kekayaan yang diciptakan rakyat dan mengurangi kesejahteraan umum melalui inefisiensi birokrasi. Mau bukti?

Dialog berikut  menjadi enkapsulasi sempurna dari sebuah satir politik yang mematikan:

Omas: "Makanya bilangin punya temen, kupingnya dandanin tuh, rapihin! Temen begitu ditemenin aja, entar ketularan luh baru rasa!"

Vincent: "Orang kupingnya ada keepernye!"

Pak RT Bolot: "Gua mah jangan diobatin dah kuping gua mah."

Omas: "Lah ngapa emang?"

Pak RT Bolot: "Kalo diobatin duit gua ilang."

Tessy: "Mata pencaharian dia di situ!"

Keengganan Pak RT Bolot agar kupingnya disembuhkan adalah simbol dari keengganan institusi ekstraktif untuk berubah. They don't want to reform themselves. Mengapa? Sebab aliran uang yang masuk diperoleh dari inefisiensi tersebut. Kita sering memberikan istilah pelicin, sogokan, bahkan Fadli Zon menyebutnya sebagai oli pembangunan untuk aliran uang ini. 

Masalahnya, praktik seperti ini sudah dianggap lumrah di negeri kita. Bahkan, banyak oknum birokrat mendapatkan mayoritas penghasilannya dari sogokan. Persis seperti yang dibicarakan Pak RT Bolot dan Tessy.

Selain menyedot kekayaan rakyat, institusi publik yang ekstraktif juga membentuk birokrat-birokrat yang tidak berorientasi pelayanan (service-oriented) dan sering mencari muka di depan atasan. Lagi-lagi, Pak RT Bolot menggambarkan tendensi ini dengan sempurna. Simak saja dialog berikut ini, ketika Presiden Jokowi menjadi bintang tamu di Ini Talk Show.

Sule: "... Nah ini nih Pak, sering modus nih Pak."

Presiden Jokowi: "Jadi gini Mas Sule ya, yang namanya RT, yang namanya RW, yang namanya lurah, yang namanya camat, yang namanya bupati, walikota, gubernur, menteri, Presiden, semuanya itu harus melayani rakyat."

Sule: "Nah... Dengerin! Melayani rakyat! Ini malah kami yang melayani RT terus Pak! Saya sudah capek Pak. Mau dipecat juga susah mecatnya. Tuh kan betul-betul!"

Pak RT Bolot: "Begitu Pak, heeh!"

Malah, Pak RT Bolot digambarkan sedang berusaha menarik pungutan liar dengan dalih "uang parkiran" dan "ongkos" kepada Sule sebagai warga. Baru ketika Beliau menyadari kehadiran Presiden Jokowi, Pak RT Bolot langsung bermanis muka. Bahkan, modus operandi terhadap Sule dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bukannya melayani, Sule malah harus melayani permintaan berbagai pungli dari Pak RT Bolot.

Adegan ini menggambarkan apa yang sering dihadapi oleh banyak rakyat Indonesia. Mengurus KTP, akta kelahiran, dan berbagai dokumen penting lainnya saja harus memberikan pelicin agar cepat selesai. Belum lagi berbagai pungli yang dikenakan para oknum dalam berbagai kesempatan. Inilah yang menciptakan high-cost economy di Indonesia. Akibatnya, biaya tinggi ini menghalangi kemajuan kita sebagai bangsa.

Maka dari itu, kalau kita mau mencapai visi Indonesia Emas 2045, kita perlu menghilangkan high-cost economy. Pemusnahan ini hanya dapat dilakukan dengan menciptakan institusi publik yang inklusif. Artinya, institusi-institusi publik yang melayani masyarakat sebagai wealth creators. Pelayanan itu harus efisien, non-discriminatory, dan bebas dari pungli. Jika tidak, bangsa kita pasti mengalami kemunduran. Persis seperti yang terjadi di India pada era Permit Raj (1947-1990) atau Peru sebelum Alberto Fujimori.

Jadi, mau Indonesia menjadi negara maju? Sosok Pak RT Bolot menjadi peringatan satiris bagi kita semua. Jangan sampai institusi publik kita dipenuhi oleh birokrat macam Beliau, atau malah menjadi seperti Beliau. Budeg, rakus, dan bermuka dua.

SUMBER
youtube.com. Diakses pada 29 Desember 2019.
youtube.com. Diakses pada 29 Desember 2019.

Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.
Link: qureta.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun