Bulan ini, Indonesia sedang ribut dengan Uni Eropa. Indonesia menggugat Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) karena melakukan diskriminasi terhadap sawit Indonesia. Selain itu, Indonesia juga membalas diskriminasi ekonomi Uni Eropa dengan menghentikan ekspor nikel. "Barang, barang kita, nikel, nikel kita, mau ekspor mau enggak suka-suka kita. Ya, enggak?" Tegas Presiden Jokowi (Money.kompas.com, 2019).
Gertakan Indonesia ini kembali dibalas oleh Uni Eropa (UE). Sebagai organisasi regional, UE menuntut balik Indonesia atas pelarangan ekspor nikel tersebut. Tuntutan ini didasari atas ketidakadilan perdagangan dan dampak negatif pelarangan tersebut bagi industri baja Eropa. Mengapa? Sebab akses produsen baja Eropa terhadap nikel mentah menjadi terbatas (Money.kompas.com, 2019).
Maka dari itu, kita sedang "perang dagang kecil-kecilan" dengan Uni Eropa. Akan tetapi, peperangan ini bukanlah a battle of equals. Indonesia sebagai sovereign state sedang menghadapi Uni Eropa sebagai satu blok perdagangan beranggotakan 28 negara (Inggris baru akan keluar pada 31 Januari 2020). Seluruh anggota harus mengikuti kebijakan blok yang ditentukan oleh Council of the EU.
Artinya, masing-masing negara tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan perdagangannya sendiri. Lebih jauh lagi, masing-masing anggota harus meleburkan kepentingan negaranya dalam satu "kepentingan Eropa". Dengan kata lain, kedaulatan negara anggota dalam bidang perdagangan internasional disunat. Semua diseragamkan dalam satu sikap blok.
Akan tetapi, penyunatan kedaulatan ini tidak hanya terjadi di bidang perdagangan. Kedaulatan juga disunat dalam bidang moneter dengan Euro sebagai mata uang tunggal. Dalam bidang yuridis, court ruling juga ditentukan oleh European Court of Justice (ECJ). Belum lagi dalam bidang perikanan dan pertanian, di mana setiap anggota harus menaati Common Fisheries Policy dan Common Agricultural Policy.
Penyunatan kedaulatan inilah yang menjadi alasan sentral terjadinya Brexit. Mayoritas rakyat Inggris sudah muak diatur-atur oleh birokrasi sentralistis Uni Eropa dalam berbagai bidang. Terlebih lagi, mereka ingin menggapai kembali kedaulatan yang diserahkan kepada Uni Eropa sejak 1973. Sehingga, rakyat mampu mengatur negaranya sendiri dalam berbagai bidang melalui mekanisme parliamentary democracy. Lantas, bagaimana sentralisasi ini bisa terjadi?
Mari kita mulai dari tahun 1951 ketika European Coal and Steel Community (ECSC) berdiri. Awalnya, komunitas ini dibentuk oleh Perancis, Jerman, Belgia, Belanda, Italia, dan Luxembourg. Perang Dunia Kedua baru saja berakhir. Sehingga, tujuan pembentukan ECSC adalah untuk menjaga perdamaian di Eropa dengan mengintegrasikan kepentingan politik dan ekonomi antar negara.
Pada tahun 1957, Traktat Roma mengubah ECSC menjadi European Economic Community (EEC) atau Common Market. Perubahan ini berfokus pada penghilangan berbagai halangan perdagangan (barriers of trade) antar negara anggota. Selain liberalisasi perdagangan, EEC juga menyatukan kebijakan pertanian dengan Common Agricultural Policy agar makanan terdistribusi secara merata.
Lantas, dekade 1970-an membawa dua perubahan besar bagi EEC. Pertama, Inggris sebagai island nation bergabung menjadi anggota. Kedua, bergabungnya Spanyol dan Portugal membuat kebijakan ekonomi regional EEC mengarah kepada pembangunan kedua wilayah tersebut. Pengarahan ini dilakukan agar Spanyol dan Portugal dapat mengejar ketertinggalan dengan anggota EEC lainnya.
Kemudian, dekade 1980-an menjadi era di mana sentralisasi kedaulatan menjadi semakin intensif. Akan tetapi, sentralisasi ini terjadi di bawah topeng liberalisasi perdagangan. Pernyataan ini dibuktikan dengan penandatanganan Single European Act pada tahun 1986. Kemudian, transfer of sovereignty ini dilanjutkan dengan penciptaan Single Market pada tahun 1988.
Setelah Single Market terbentuk, peleburan kedaulatan berlanjut pada bidang politik, moneter, pertahanan, dan keamanan. Puncaknya, Traktat Maastricht 1992 menjadi dokumen yang membentuk UE yang kita kenal sekarang. Dalam dokumen tersebut, tercantum pembentukan Single Currency, European Council, European Parliament, dan berbagai lembaga supranasional lainnya.
Terakhir, 1999 menandai berlakunya Social Chapter dan berbagai kebijakan hubungan industrial secara penuh. Hubungan industrial tersebut menekankan pada gender equality serta standar kerja yang tinggi. Seluruh kebijakan ini terpatri dalam Traktat Amsterdam 1997 yang berlaku penuh pada 1 Mei 1999. Setelah 1999, Uni Eropa pun terus berkembang hingga menjadi sebesar ini (Europa.eu, 2019).
Melihat perkembangan di atas, dapat dilihat bahwa ASEAN baru mencapai tahap area perdagangan bebas dengan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Area perdagangan bebas adalah hal yang berbeda dengan pasar tunggal. Kalau area perdagangan bebas ingin memusnahkan tarif dan kuota, pasar tunggal ingin pula mendorong free movement dari tenaga kerja dan modal di antara negara anggota.
Lebih jauh lagi, pasar tunggal juga melibatkan penyatuan standar, regulasi, perpajakan, dan lain sebagainya. Selain itu, tarif dan kuota untuk perdagangan dengan negara-negara non-anggota juga harus disatukan. Ini dilakukan agar terjadi kompetisi yang adil di dalam blok perdagangan tersebut. Nah, di sini masalah mulai muncul (Salter dalam ukandeu.ac.uk, 2017).
Upaya untuk menyamaratakan kebijakan perdagangan justru berujung pada pengurangan kompetisi antar negara anggota. Mengapa? Seluruh kerangka kerja ekonomi dilebur dalam satu kebijakan blok perdagangan. Dampaknya, setiap negara anggota memiliki kebijakan perpajakan, moneter, standar kerja, dan perdagangan internasional yang seragam. Keseragaman inilah yang mematikan kompetisi.
Ibarat orang-orang dengan selera dan ukuran tubuh yang berbeda namun dipaksa memakai jaket dengan ukuran yang sama. Itulah yang terjadi dengan negara-negara anggota Uni Eropa saat ini. Mereka diwajibkan mengadopsi keseragaman ekonomi, tanpa mempertimbangkan struktur dan tahapan pembangunan ekonomi masing-masing negara.
Maka dari itu, ASEAN sebaiknya tidak melangkah menjadi organisasi supranasional seperti UE. Pertahankan struktur AFTA yang ada saat ini. Selanjutnya, jaga model kerja sama antar negara-negara berdaulat Asia Tenggara yang ada saat ini. Wacana-wacana seperti penyatuan kebijakan berbagai sektor, mata uang tunggal, dan bank sentral tunggal harus dicegah sekuat mungkin. Sebab kooperasi terjadi karena kita berkompetisi, bukan dari pemaksaan economic straitjacket.
So, ASEAN must remain an association of sovereign nation-states. If it goes further, ASEAN would sound the bells of its destruction.
SUMBER
Kompas. Diakses pada 27 Desember 2019.
https://europa.eu/european-union/about-eu/history_en. Diakses pada 27 Desember 2019.
https://ukandeu.ac.uk/explainers/what-is-the-difference-between-a-free-trade-area-and-a-single-market/. Diakses pada 28 Desember 2019.
Disclaimer:Â Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis
Link:Â https://www.qureta.com/next/post/asean-belajarlah-dari-uni-eropaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H