Munculnya berbagai fintech start-up dalam berbagai bidang investasi menjadi bukti fenomena ini. Kini, individu bisa berinvestasi di pasar modal dan lending marketplace mulai dari 10.000 rupiah. Bukannya melayu, kapitalisme finansial malah tumbuh subur di ladang-ladang baru.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa realitas ekonomi saat ini kontradiktif dengan prediksi Keynes. Meski Keynes berhasil memprediksi penurunan tingkat kemiskinan dan penurunan jam kerja, namun penurunan tersebut tidak secepat yang diperkirakan.Â
Selanjutnya, human cravings yang semakin bermacam-macam dan kapitalisme finansial yang menjamur malah mematahkan prediksi Beliau.
Kalau Bung Hatta pernah berkata bahwa, "Tujuan sosialisme adalah membuat ongkos hidup rakyat murah," kini kapitalisme justru memenuhi tujuan tersebut melalui entrepreneurial disruption.Â
Hadirnya disrupsi merusak tatanan sebelumnya yang inefisien dan menggantinya dengan tatanan efisien. Lihat saja apa yang terjadi di bidang transportasi, keuangan, pertanian, dan bidang lainnya.
Jadi, dekade terakhir untuk kapitalisme? Not so. There are still many more disruptions to come. Sabar, tunggu, dan coba saja disrupsi-disrupsi selanjutnya. Niscaya kita akan semakin cinta dengan kapitalisme sebagai pemicu disrupsi-disrupsi tersebut.
SUMBER
- versobooks.com. Diakses pada 26 Desember 2019.
- worldbank.org. Diakses pada 27 Desember 2019.
- smallbiztrends.com. Diakses pada 27 Desember 2019.
- Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H