Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Realita Natal, Cerminan Kebebasan Beragama di Indonesia

25 Desember 2019   21:47 Diperbarui: 25 Desember 2019   21:49 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kesempatan ini, izinkan penulis untuk mengucapkan selamat Natal bagi saudara-saudari Nasrani yang merayakannya. Semoga momen perayaan Natal ini dapat menjadi ajang refleksi atas kehidupan kita kemarin. Sehingga, kita dapat menyongsong masa depan yang lebih baik. Semoga kasih-Nya selalu menyertai kehidupan kita semua.

Akan tetapi, momen Natal kali ini tidak hanya menjadi refleksi bagi umat Nasrani. Realita natal juga menjadi ajang cermin bagi bangsa dan negara ini. Sebuah refleksi terhadap kebebasan beragama di negeri ini. Dalam sila pertama Pancasila, kita percaya bahwa Indonesia adalah One Nation under God. Namun, realita di masa ini menunjukkan gejala a nation gone under dalam kebebasan beragama.

Apa gejala tersebut? Indikasi ini muncul dari terjadinya pelarangan perayaan Natal di berbagai daerah. Nagari Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, menjadi daerah yang paling disorot. Sorotan ini terjadi karena sebuah pernyataan kontroversial dari Menteri Agama (Menag) Fakhrul Razi, "Ntar nanti kita tanya bagaimana kesepakatannya itu. Tapi penjelasan mereka itu 'sudah kesepakatan dan sudah lama Pak itu' begitu," tandas Beliau (CNN Indonesia dalam cnnindonesia.com, 2019).

Kata 'sudah kesepakatan' inilah yang memancing kontroversi. Artinya, ada sebuah persetujuan di antara elemen masyarakat untuk melakukan pelarangan ini. Padahal, UUD 1945 Pasal 28E Ayat 2 sebagai peraturan hukum tertinggi di negeri ini menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu (Tobing dalam hukumonline.com, 2013). Dengan kata lain, konsensus ini sudah dapat melanggar hukum dan harus dihentikan. 

Belum lagi, terjadi juga pelarangan perayaan Natal di Nagari Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung. Dalih pelarangannya pun sama. Mereka mengklaim bahwa pelarangan tersebut adalah "pembatasan perayaan Natal di luar tempat ibadah". Lebih lagi, pelarangan tersebut dilegitimasi dengan tujuan untuk "menjaga kerukunan umat beragama". Sungguh sebuah kesepakatan yang cacat pikir.

Mengapa cacat pikir? "True peace is not merely the absence of tension; it is the presence of justice," tegas Dr. Martin Luther King, Jr. Menurut hemat penulis, kesepakatan di atas membawa ketidakadilan (injustice) bagi umat Nasrani. Bukannya dijamin, kebebasan beribadah mereka justru disunat habis. Lantas, penyunatan ini menumbuhkan bibit intoleransi, bukan kerukunan umat beragama.

Untung saja, setelah menerima sorotan media nasional, kesepakatan di dua wilayah tersebut dicabut. Pencabutan tersebut juga dilakukan secara musyawarah mufakat. Sehingga, umat Nasrani di kedua wilayah tersebut mampu melaksanakan ibadah Natal bersama dengan aman (Harlina dalam liputan6.com, 2019).

Meski sudah selesai, kontroversi pelarangan Natal ini harus dijadikan bahan refleksi oleh kita semua. Mengapa pelarangan seperti ini bisa muncul at the first place? Bagaimana caranya agar kontroversi seperti ini tidak terulang di masa mendatang?

Menurut pendapat penulis, ada tiga penyebab utama kemunculan pelarangan ini. Pertama, kurangnya literasi konstitusional di masyarakat. Munculnya kesepakatan seperti ini jelas berlawanan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi kita. Tandanya, ada ketidaktahuan (ignorance) mengenai hukum dasar kita di antara masyarakat sebagai subjek hukum.

Kedua, tingkat toleransi beragama yang rendah. Melarang umat beragama lain untuk mengekspresikan iman mereka adalah salah satu bentuk intoleransi terburuk yang bisa kita pikirkan. Ini membuktikan bahwa intoleransi masih tertanam kuat di masyarakat kita. Akibatnya, pembumian toleransi sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara semakin sulit

Ketiga, pemerintah daerah yang kurang tegas dalam menegakkan hukum. Sebagai agen penegak hukum, pemerintah daerah seharusnya mengintervensi kesepakatan seperti ini. Stop it and stop it quick! Akan tetapi, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten justru bertindak defensif dan melegitimasi kesepakatan masyarakat. Sungguh disayangkan, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun