Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hal yang Dirindukan dari Dekade 90-an

7 Agustus 2019   13:54 Diperbarui: 7 Agustus 2019   14:10 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: cewekbanget.grid.id

Babe: Entar, Perang Dunia Ketiga baru lu senang!

Dalam SDAS, berantem menjadi ajang improvisasi komedi bagi pelawak legendaris seperti Benyamin Suaeb, Mandra, dan Basuki Srimulat. Berbagai punchline Betawi dan Jawa pun digunakan untuk menyerang lawan main. 

Mulai dari "Idung Abang kayak jambu aer" sampai "Turun mesin, turun mesin! Turun bero kali!" Seperti halnya kita meledek saudara dan sahabat di dunia nyata.

Potret realita inilah yang menjadi kekuatan terbesar SDAS. Tontonan ini tidak menyajikan sebuah dunia yang sangat kontras seperti sinetron zaman now. Tokoh yang protagonis terlalu sempurna macam malaikat, sementara tokoh antagonis terlampau jahat macam iblis. SDAS menyajikan sebuah dunia yang realistis. Tidak ada tokoh yang protagonis maupun antagonis.

Doel sebagai tokoh utama adalah seorang yang berintegritas namun plin plan. Sarah adalah wanita cerdas namun egois. Zaenab adalah sosok yang lembut namun kurang asertif. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Persis seperti kita semua di dunia nyata.

Ketika kita menonton sebuah tayangan yang realistis, kita pasti merasa seperti berkaca pada kehidupan sendiri. Dari cerminan tersebut, kita mampu mengambil pelajaran untuk kehidupan kita. Misalkan, kita harus konsisten dalam kejujuran seperti seorang Doel. Menyayangi keluarga seperti seorang Babe Sabeni. Bahkan menghindari kemalasan agar tidak bernasib seperti Mandra.

Kedua hal yang penulis rindukan ini mencerminkan karakteristik sebuah zaman. Zaman dimana masuk dapur rekaman membutuhkan perjuangan yang berat. Tidak seperti sekarang yang dipermudah oleh YouTube, iTunes, dan lain sebagainya. Sebuah era ketika sinetron masih mampu mencerminkan realita di masyarakat. Tidak seperti sekarang yang kebangetan dipolarisasi.

Maka dari itu, penulis selalu rindu dekade 90-an. Wish I lived through that decade. Menjadi saksi hidup terhadap suatu dekade dengan perkembangan musik dan hiburan yang dinamis.

Namun, sebagai bagian dari generasi post-millennial, penulis hanya bisa mengenang dekade ini dari lagu-lagu dan tayangan yang masih beredar sampai sekarang. Mereka memberikan kenangan tersendiri dalam sanubari penulis. Terima kasih dekade 90-an, telah memberikan warna dalam kehidupan ini.

SUMBER
kumparan.com. Diakses pada 6 Agustus 2019.
youtube.com. Diakses pada 6 Agustus 2019.
youtube.com. Diakses pada 6 Agustus 2019.

Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.
Link: qureta.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun