Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengapa Indonesia Tidak Butuh Sosialisme

6 Agustus 2019   20:40 Diperbarui: 6 Agustus 2019   21:29 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pointofview.net

"Revolusi Indonesia menuju tiga kerangka yang sudah terkenal. Revolusi Indonesia menuju kepada sosialisme! Revolusi Indonesia menuju kepada dunia baru, tanpa explotation der l'homme par l'homme dan exploitation der l'nation par l'nation."

Masih ingat dengan pernyataan di atas? Ia adalah bagian inti dari pidato Tahun Vivere Pericoloso (TAVIP) pada 17 Agustus 1964. Sebuah era di mana Republik Indonesia sedang kiri-kirinya. Begitu pula dengan Sukarno sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia.

Maka dari itu, Presiden Sukarno menyatakan bahwa Republik Indonesia harus menjadi sebuah masyarakat sosialis. Sebuah masyarakat di mana prinsip "sama rata, sama rasa" berlaku secara universal. Dalam kata lain, Indonesia harus memenuhi prekondisi equality of outcome untuk mencapai sebuah masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Lantas, langkah apa yang dilakukan untuk mencapai prekondisi ini? Sejak Presiden Sukarno mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Beliau mengarahkan perekonomian Indonesia menuju sistem ekonomi komando. Sistem ini memungkinkan pemerintah untuk melakukan intervensi skala besar untuk mewujudkan equality of outcome.

Lalu, apa saja intervensi yang dilakukan pemerintah? Pertama, mengadakan sanering untuk mengendalikan inflasi pada tahun 1959. Kedua, membentuk Depernas dan Bappenas pada tahun 1961. Ketiga, meluncurkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada tahun 1963 (Setyawan dalam donisetyawan.com, 2016).

Mari kita mulai dari kebijakan yang pertama. Singkatnya, sanering adalah pemotongan nilai  uang yang disertai dengan pengurangan daya beli mata uang tersebut. Dalam kasus ini, pemerintah memotong nilai mata uang pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100. Selain itu, simpanan di atas Rp 25.000 dibekukan oleh pemerintah.

Melalui kebijakan ini, diharapkan jumlah uang beredar di masyarakat mengalami penurunan. Sehingga, tingkat inflasi bisa dikendalikan. Ketika inflasi berhasil dikendalikan, prasyarat perekonomian yang stabil akan berhasil dibentuk.

Selain sound money, pembangunan yang stabil juga diperlukan sebagai prasyarat stabilitas ekonomi. Maka dari itu, pemerintah membentuk Dewan Perancang Nasional (Deparnas) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kedua badan ini diberi mandat untuk merancang dan menjalankan Pola Pembangunan Semesta Berencana (Permesta).

Tujuan dari pemberian mandat ini adalah mewujudkan pembangunan negara yang terencana dan berkelanjutan. Sehingga, grand strategy dalam bentuk Permesta bisa terlaksana dengan benar di lapangan. Pelaksanaan yang benar inilah yang membawa Indonesia menuju sosialisme.

Terakhir, Presiden Sukarno menelurkan Dekon untuk memberikan landasan hukum terhadap intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi. Mulai dari bidang ekspor, impor, sampai harga. Kebijakan ini mencerminkan ke-PD-an pemerintah sebagai pemegang komando dalam perekonomian Indonesia.

Ketiga kebijakan ini tergabung dalam satu istilah propagandis yang sangat kiri; Sistem ekonomi terpimpin. Sistem ini diarahkan untuk mencapai sebuah perekonomian yang berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Ketika ekonomi yang berdikari terwujud, Indonesia akan mampu lepas dari jerat NEKOLIM. Akhirnya, masyarakat sosialis akan terbentuk di Indonesia.

Tetapi, apa hasil dari sistem ekonomi terpimpin? Pada tahun 1965, Indonesia mengalami hiperinflasi hingga 650%. Angka kemiskinan masih berada pada angka 60% sampai tahun 1970 (Movanita dalam ekonomi.kompas.com, 2018). Sementara, pembangunan yang dilaksanakan di lapangan berfokus pada proyek mercusuar yang tidak bermanfaat banyak bagi kelangsungan perekonomian. Terakhir, Dekon juga tidak berhasil dilaksanakan dengan birokrasi yang carut marut.

Fakta di atas menunjukkan bahwa eksperimen sosialisme Indonesia 1959-1965 tidak membawa kemakmuran yang adil dan merata. Justru, eksperimen ini berhasil membuktikan sebuah ungkapan dari Winston Churchill, "Socialism is the equal sharing of misery." Bukannya membawa kesejahteraan, sosialisme justru membawa penderitaan bagi seluruh rakyat.

Mengapa bisa demikian?

Menurut hemat penulis, ada tiga alasan utama mengapa sosialisme justru membawa penderitaan. Pertama, sosialisme mematikan inisiatif rakyat. Kedua, sosialisme memupuk sebuah budaya ketergantungan pada masyakat. Ketiga, sosialisme menyuntikkan inefisiensi dalam perekonomian.

Argumentasi pertama datang dari perspektif sosiologis. Sosialisme sebagai paham selalu menekankan peran pemerintah dalam pemerataan sumber daya ekonomi. Maka dari itu, pemerintah melakukannya melalui nasionalisasi, pajak penghasilan tinggi, pengendalian harga, dan lain sebagainya.

Seluruh kebijakan ini mengubah pemerintah menjadi sebuah institusi represif terhadap masyarakat. Ia mengambil alih segenap sumber daya ekonomi dari sektor privat atas nama 'kehendak rakyat'. Lalu, pemerintah menjadikan banyak sektor dalam perekonomian sebagai perpanjangan tangan birokrasi pemerintah.

Ketika birokrasi mulai meluas, maka ada dua akibat yang muncul; Budaya ketergantungan dan inefisiensi ekonomi.

Budaya ketergantungan (dependency culture) adalah dampak negatif sosialisme dari perspektif kultural. Artinya, rakyat yang secara alami berdaulat, berubah menjadi ketergantungan terhadap inisiatif dan bantuan pemerintah. Tanpanya, rakyat dalam sebuah sistem sosialis tidak bisa hidup. Birokrasi pemerintah menghalangi upaya mereka untuk berinisiatif sendiri.

Sementara, inefisiensi ekonomi adalah dampak negatif sosialisme yang langsung muncul dari birokrasi yang meluas. Birokrasi ala sektor publik adalah sebuah unit ekonomi yang tidak mengejar keuntungan. Sehingga, para birokrat tidak punya insentif untuk beroperasi secara efisien dan menguntungkan seperti sektor swasta.

Akhirnya, pemerintah bersandar pada 'pelayanan publik' sebagai legitimasi utama peranannya dalam perekonomian. "There's nothing that does so much harm as good intentions," tandas Milton Friedman. Pernyataan ini jelas berlaku dalam birokrasi sektor publik. Berniat mulia untuk melayani rakyat, namun pada akhirnya justru mempersulit rakyat.

Itulah mengapa Indonesia tidak butuh sosialisme. Ideologi ini hanya berniat menolong, tanpa memberikan kemakmuran dalam arti sebenarnya. Justru, ia memaksakan suatu penderitaan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Maka, Indonesia membutuhkan sebuah social market economy yang memberikan kemakmuran untuk seluruh rakyat.

SUMBER

https://www.youtube.com/watch?v=qpW0Dj5-lJQ. Diakses pada 28 Juni 2019.

http://www.donisetyawan.com/ekonomi-pada-demokrasi-terpimpin/. Diakses pada 29 Juni 2019.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/31/101342926/membandingkan-angka-kemiskinan-dari-era-soeharto-hingga-jokowi. Diakses pada 29 Juni 2019.

https://www.azquotes.com/quote/647072. Diakses pada 29 Juni 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun