Ketiga kebijakan ini tergabung dalam satu istilah propagandis yang sangat kiri; Sistem ekonomi terpimpin. Sistem ini diarahkan untuk mencapai sebuah perekonomian yang berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Ketika ekonomi yang berdikari terwujud, Indonesia akan mampu lepas dari jerat NEKOLIM. Akhirnya, masyarakat sosialis akan terbentuk di Indonesia.
Tetapi, apa hasil dari sistem ekonomi terpimpin? Pada tahun 1965, Indonesia mengalami hiperinflasi hingga 650%. Angka kemiskinan masih berada pada angka 60% sampai tahun 1970 (Movanita dalam ekonomi.kompas.com, 2018). Sementara, pembangunan yang dilaksanakan di lapangan berfokus pada proyek mercusuar yang tidak bermanfaat banyak bagi kelangsungan perekonomian. Terakhir, Dekon juga tidak berhasil dilaksanakan dengan birokrasi yang carut marut.
Fakta di atas menunjukkan bahwa eksperimen sosialisme Indonesia 1959-1965 tidak membawa kemakmuran yang adil dan merata. Justru, eksperimen ini berhasil membuktikan sebuah ungkapan dari Winston Churchill, "Socialism is the equal sharing of misery." Bukannya membawa kesejahteraan, sosialisme justru membawa penderitaan bagi seluruh rakyat.
Mengapa bisa demikian?
Menurut hemat penulis, ada tiga alasan utama mengapa sosialisme justru membawa penderitaan. Pertama, sosialisme mematikan inisiatif rakyat. Kedua, sosialisme memupuk sebuah budaya ketergantungan pada masyakat. Ketiga, sosialisme menyuntikkan inefisiensi dalam perekonomian.
Argumentasi pertama datang dari perspektif sosiologis. Sosialisme sebagai paham selalu menekankan peran pemerintah dalam pemerataan sumber daya ekonomi. Maka dari itu, pemerintah melakukannya melalui nasionalisasi, pajak penghasilan tinggi, pengendalian harga, dan lain sebagainya.
Seluruh kebijakan ini mengubah pemerintah menjadi sebuah institusi represif terhadap masyarakat. Ia mengambil alih segenap sumber daya ekonomi dari sektor privat atas nama 'kehendak rakyat'. Lalu, pemerintah menjadikan banyak sektor dalam perekonomian sebagai perpanjangan tangan birokrasi pemerintah.
Ketika birokrasi mulai meluas, maka ada dua akibat yang muncul; Budaya ketergantungan dan inefisiensi ekonomi.
Budaya ketergantungan (dependency culture) adalah dampak negatif sosialisme dari perspektif kultural. Artinya, rakyat yang secara alami berdaulat, berubah menjadi ketergantungan terhadap inisiatif dan bantuan pemerintah. Tanpanya, rakyat dalam sebuah sistem sosialis tidak bisa hidup. Birokrasi pemerintah menghalangi upaya mereka untuk berinisiatif sendiri.
Sementara, inefisiensi ekonomi adalah dampak negatif sosialisme yang langsung muncul dari birokrasi yang meluas. Birokrasi ala sektor publik adalah sebuah unit ekonomi yang tidak mengejar keuntungan. Sehingga, para birokrat tidak punya insentif untuk beroperasi secara efisien dan menguntungkan seperti sektor swasta.
Akhirnya, pemerintah bersandar pada 'pelayanan publik' sebagai legitimasi utama peranannya dalam perekonomian. "There's nothing that does so much harm as good intentions," tandas Milton Friedman. Pernyataan ini jelas berlaku dalam birokrasi sektor publik. Berniat mulia untuk melayani rakyat, namun pada akhirnya justru mempersulit rakyat.