Tak ada angin tak ada hujan, dua nama muncul di bursa calon walikota Solo. Mereka adalah Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep. Keduanya adalah anak laki-laki dari Presiden Joko Widodo. Pemimpin tertinggi di negara ini. Kemunculan nama mereka menimbulkan kontroversi tersendiri dalam jagat politik Indonesia.
Kontroversi itu bernama politik dinasti. Sebuah praktek di mana kekuasaan politik dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga (mkri.id, 2015). Bapaknya menjadi Presiden, anaknya menjadi gubernur/walikota. Tujuan akhir dari praktek ini adalah pelanggengan kekuasaan di tangan satu keluarga dan kroni-kroninya.
Kebanyakan praktek ini membuahkan hasil yang buruk. Lihat saja keluarga Marcos di Filipina. Keluarga Suharto di masa Orde Baru. Atau Keluarga Ratu Atut di Banten. Adanya politik dinasti seperti ini berujung pada terhambatnya demokrasi serta kemajuan tempat mereka berkuasa.
Ngerinya, hal yang sama terjadi pada keluarga Jokowi. Branding Jokowi sebagai sosok yang berintegritas dan tidak haus kekuasaan bisa tercoreng. Mengapa? Ternyata anak-anaknya ikut cawe-cawe politik. Apalagi dengan mendompleng nama bapaknya. Ini adalah sebuah pertanda bahwa Jokowi tidak mampu mendidik anak-anaknya untuk menahan godaan kekuasaan.
Tetapi, ada juga yang menyambut kemunculan ini secara positif. Mereka menganggap bahwa Gibran dan Kaesang bisa meneruskan kepemimpinan ayahnya yang brilian. Apalagi mengingat public persona keduanya yang sederhana, santun, lucu, dan nonsensical. Bahkan, ada beberapa pihak yang berpendapat seperti ini:
"Kalau keluarga yang korup saja berpolitik dinasti, mengapa keluarga Jokowi yang jujur tidak? Buat saja dinasti politik Jokowi."
Kalau orangtuanya korup, anaknya pasti korup. Kalau orangtuanya jujur, anaknya pasti jujur. Inilah premis yang dipegang oleh pihak yang mendukung dinasti politik Jokowi. Mereka ingin meneruskan kepemimpinan yang kuat dan berintegritas ala Jokowi.
Namun, apakah Gibran dan Kaesang sudah pantas masuk politik? Mari kita lihat rekam jejak mereka sebagai anak Presiden Jokowi.
Gibran Rakabuming Raka adalah anak tertua Presiden Jokowi. Beliau dianggap sebagai heir apparent ayahnya dalam bisnis dan politik. Tetapi, Beliau melawan anggapan tersebut. Bukannya meneruskan usaha Rakabu Furniture, Mas Gibran malah membuka usaha katering Chilli Pari dan Martabak Kota Baru (Markobar). Usaha tersebut memiliki puluhan cabang di seluruh Indonesia.
Beda lagi dengan Mas Kaesang. Anak bungsu Presiden Jokowi ini justru membuka usaha clothing line Sang Javas dan usaha makanan Sang Pisang. Sesuai dengan kepribadiannya, tagline nya pun lucu-lucu. Dari "mau jadi pasukan kecebong?" sampai "Naget pisang kesayangan". Kemasan yang unik dan sesuai selera masyarakat membuatnya berhasil membuka puluhan cabang di seluruh Indonesia.
Bisnisnya boleh berbeda. Namun, semuanya berada dalam lingkup sektor privat. Struktur pasarnya juga monopolistik dengan kompetisi yang sangat kuat. Berbeda dengan anak-anak Presiden Suharto yang hampir seluruh bisnisnya bersinggungan dengan sektor publik. Dengan struktur pasar oligopoli yang cenderung cronyistic dan mempermudah kartel.
Hal ini membuat Mas Gibran dan Kaesang cenderung bebas dari tuduhan politis. Begitu juga dengan Presiden Jokowi sebagai ayah mereka. Justru, keduanya menjadi aset yang berharga untuk Presiden Jokowi. Sampai-sampai Beliau membeberkan rahasia kesuksesan bisnis keduanya di depan para ASN (cnnnindonesia.com, 2019).
Melihat rekam jejak di atas, keduanya sudah cukup pantas untuk terjun ke politik. Namun, bukan ketika ayah mereka masih menjadi Presiden Republik Indonesia. Mengapa?
Kalau Mas Gibran atau Kaesang terjun sekarang, muncul sebuah kesan bahwa keluarga Jokowi ternyata sama seperti keluarga politik lain. Begitu bergantung kepada kekuasaan, sampai anak-anaknya memiliki jabatan saat ayahnya masih menjabat. Padahal, Pak Jokowi sering menekankan bahwa kekuasan hanyalah sebuah amanah yang tidak kekal.
Dampaknya, Presiden Jokowi bisa dipandang sebagai sosok yang hipokrit. Berlainan antara perkataan dan tindakan. Selain itu, hypocriticism seperti ini membuat Presiden Jokowi seperti menjilat ludahnya sendiri. Seorang pemimpin yang memiliki citra berintegritas di mata publik, namun menerapkan double-standard terhadap keluarganya sendiri. Jangan sampai yang demikian terjadi.
Maka dari itu, Mas Gibran dan Kaesang boleh terjun ke politik setelah Pak Jokowi selesai menjabat di tahun 2024. Sama seperti George Bush Jr. dan Jeb Bush yang maju menjadi gubernur setelah ayahnya selesai menjabat sebagai Presiden AS. Dengan ini, publik tidak akan ber-su'udzan terhadap keluarga Jokowi. Justru, sebuah kesan positif akan terbentuk dalam opini publik.
Kesan positif itu muncul dari continuity of leadership yang terjadi. Nilai-nilai kepemimpinan ayahnya yang sudah menjadi mantan Presiden dilanjutkan oleh anak-anaknya. Lebih jauh lagi, langkah ini akan menunjukkan bahwa keluarga Jokowi memiliki respect for public service. Sebuah keluarga yang mewariskan nilai-nilai pelayanan publik untuk generasi mendatang.
Mungkin inilah yang dimaksud oleh sebagian publik sebagai "politik dinasti jujur". Sebuah "politik dinasti" yang menghasilkan pemimpin-pemimpin berintegritas dan kompeten. Bukannya menciptakan kroni, dinasti ini justru mengacak-acak kroni kekuasaan secara berkelanjutan. Sebuah anti-crony political dynasty yang kita perlukan untuk menyongsong Indonesia Maju.
SUMBER
https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11428. Diakses pada 4 Agustus 2019.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190116161551-92-361294/jokowi-ungkap-kunci-sukses-bisnis-gibran-dan-kaesang-ke-asn. Diakses pada 4 Agustus 2019.
Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.
Link:Â https://www.qureta.com/next/post/pantaskah-anak-anak-jokowi-terjun-ke-politik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H