Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bangkitnya Didi Kempot Patahkan Argumen Anti-Globalisasi

3 Agustus 2019   16:49 Diperbarui: 7 Agustus 2019   13:55 2117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.hitekno.com/

Belakangan ini, sebuah fenomena revival/kebangkitan kembali sedang menerpa dunia hiburan. Kebangkitan itu dialami oleh seorang penyanyi Jawa. Sebenarnya, beliau sudah berkiprah sejak tahun 1989. Namun, di tahun 2019, fenomena galau di antara millennials membuat nama beliau kembali mencuat ke permukaan.

Penulis sendiri akrab dengan lagu-lagunya. Sejak kecil, Ayah penulis sering menyetel lagu Sewu Kuto, Stasiun Balapan, Tanjung Mas Ninggal Janji, dan berbagai lagu campursari lainnya.

Meski tidak mengerti Bahasa Jawa, penulis bisa merasakan kegetiran hati yang luka dari suara beliau. Ditambah dengan irama yang asik dijogeti menjadikan lagu-lagunya unik. Pantas saja millennials menggandrunginya.

Bapak Patah Hati Nasional. The Godfather of Broken Heart. Lord Didi. Itulah gelar dari para millennials yang mengidolakan seorang Didi Kempot.

Musisi kelahiran Solo ini menemukan audiens baru di tahun 2019. Banyak lagu-lagunya yang bertema patah hati berhasil menghipnotis para millennials. Sampai-sampai mereka berhimpun dalam perkumpulan Sad Bois, Sad Girls, Sobat Ambyar, dan lain sebagainya.

Lantas, bagaimana fandom ini terjadi? Bangkitnya Didi Kempot sendiri berawal dari media sosial. Khususnya Twitter dan YouTube.

Awalnya, Didi Kempot menjadi trending topic di Twitter berkat sebuah postingan video konser Beliau di Surakarta. Di sinilah awal julukan The Godfather of Broken Heart. Ternyata, trending topic tersebut menarik perhatian content creator bernama Gofar Hilman.

YouTuber ini pun mengadakan acara Ngobam (Ngobrol Bareng Musisi) offair pertama di Wedangan Gulo Klopo, Kartasura, Jawa Tengah.

"Pas pertama, kayak ya udahlah yang dateng mungkin 50, 100. Tapi ternyata yang dateng itu 1.500," tandas Gofar di Rosi. Lebih gilanya lagi, konten ini sudah ditonton 2,6 juta orang di YouTube. Maka, the rest is history.

Didi Kempot yang adalah seorang seniman tradisional, meledak karena media sosial Twitter dan YouTube. Fenomena ini pasti mengagetkan kelompok anti-globalisasi. Buat mereka, hal seperti ini tidak mungkin terjadi. Mengapa? Sebab media sosial dipandang sebagai agen globalisasi yang menghancurkan budaya asli bangsa.

Media sosial dipandang sebagai corong masuknya budaya asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, sebagai agen westerinisasi yang memusnahkan kebudayaan asli suatu bangsa. Jadi, kalau mau melindungi kebudayaan asli bangsa, jangan mau menerima globalisasi di bidang budaya. Itulah premis yang berlaku bagi kelompok anti-globalisasi.

Mengapa demikian? Kaum anti-globalisasi menggunakan asal globalisasi sebagai legitimasi. Globalisasi itu berasal dari Barat. Ia menjadi alat penyebaran semua hal berbau Barat, termasuk budaya.

Jadi, menerima globalisasi sama saja dengan cow into submission budaya asli bangsa kepada budaya barat. Maka, mereka beranggapan bahwa globalisasi adalah zero-sum game yang harus dihindari.

Apakah hal di atas bisa terjadi? Bisa. Tetapi dengan asumsi bahwa bangsa tersebut tidak memiliki identitas budaya yang kuat. Indonesia tidak termasuk dalam kategori tersebut.

Kita adalah salah satu bangsa paling multikultural di dunia. Ada 1.340 suku bangsa di Indonesia (indonesia.go.id, 2017). Setiap suku bangsa tersebut mempunyai budaya yang unik dan menonjol.

Musik Campursari yang dibawakan Didi Kempot adalah salah satu produk budaya tersebut. Sama halnya seperti musik gambang kromong yang dibawakan Benyamin Suaeb. Ia menjadi sebuah sub-kultur yang membumi di masyarakat.

Ketika pembumian itu terjadi, ia menjadi sebuah identitas budaya yang dibawa oleh setiap anggota masyarakat. Di manapun dan kapanpun. Termasuk di media sosial. 

Millennials yang mengidentifikasi pengalaman hidup dengan lagu-lagu campursari Didi Kempot pun menunjukkan identitas tersebut. Ini dibuktikan dengan berbagai postingan soal Didi Kempot di media sosial. Mulai dari ekspresi para Sad Bois ketika menonton Godfather mereka bernyanyi. Hingga berbagai meme plesetan lirik lagu Beliau yang terkenal.

Ternyata, manifestasi budaya asli bangsa di antara millennials menjadi kekuatan yang sangat besar. Ia menjadi bukti kekuatan mobilisasi di era post-modern ini. Berkat mobilisasi, corong media sosial berhasil dibalikkan oleh para Sobat Ambyar, Sad Bois, Sad Girls, dan Kempoters. Ia menjadi agen budaya asli bangsa untuk manggung di kancah nasional, bahkan internasional.

Dampaknya, campursari berhasil menjadi hype di antara millennials. "Ternyata anak-anak muda di negeri ini masih sangat mencintai budaya," tandas Lord Didi (wowkeren.com, 2019).

Campursari tidak lagi dianggap menjadi musik kampungan, melainkan sebagai medium pelipur lara. Tempat melampiaskan semua nelangsa dalam hati, sambil berjoget menikmati irama musik Jawa. Patah hati mending dijogeti.

Kesimpulannya, kebangkitan Didi Kempot mematahkan argumen penyingkiran budaya anti-globalisasi. Justru, di era mobilisasi, corong globalisasi bisa dibalikkan. Lantas, ia menjadi perantara bagi budaya asli bangsa untuk bersinar kembali. Salam Ambyar!

SUMBER:
Kompas . Diakses pada 3 Agustus 2019.
YouTube. Diakses pada 3 Agustus 2019.
YouTube. Diakses pada 3 Agustus 2019.
Indonesia. Diakses pada 3 Agustus 2019.
Wow Keren. Diakses pada 3 Agustus 2019.

Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun