Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Waktu Demokrasi "Menggali Kuburnya Sendiri"

29 Juli 2019   19:45 Diperbarui: 29 Juli 2019   20:43 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, muncul sebuah pernyataan keras dari Presiden Jokowi. Pernyataan itu muncul ketika Beliau ditanya soal kemungkinan tidak memperpanjang izin FPI. "Ya, tentu saja, sangat mungkin. Jika pemerintah meninjau dari sudut pandang keamanan dan ideologis menunjukkan bahwa mereka tidak sejalan dengan negara," tandas Presiden (Rachman dalam nasional.kompas.com, 2019).

Keluarnya pernyataan ini menimbulkan shockwaves di masyarakat. Front Pembela Islam yang selama ini dikenal untouchable, tiba-tiba terlihat rentan. Masa depan ormas ini masih gelap. Pemerintah belum memperpanjang izinnya sampai detik ini. Mengapa? Sebab ormas ini sendiri belum melengkapi 10 dari 20 persyaratan perpanjangan SKT (Puspafirdausi dalam jabar.tribunnews.com, 2019).

Selain itu, pemerintah juga masih mengkaji rekam jejak FPI. Kajian ini dijadikan dasar atas keputusan pemerintah atas SKT ormas ini. Apakah diperpanjang atau tidak? Mari kita nantikan jawaban pemerintah atas pertanyaaan ini.

Tetapi, bagaimana dengan rekam jejak FPI selama ini? Menurut hemat penulis, ada satu pola unik yang muncul dari rekam jejaknya. Pola tersebut berbunyi seperti berikut. 

"Organisasi ini lahir dari demokrasi. Tetapi, ia menjelma menjadi organisasi anti-demokrasi." 

Ia menjadi bukti konkret, waktu demokrasi menggali kuburnya sendiri.

Untuk membuktikannya, mari kita tinjau awal berdirinya organisasi ini. FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 di Pondok Pesantren Al-Umm, Tangerang. Ormas ini memanfaatkan ruang gerak politik yang lebih luas pasca Reformasi untuk menunjukkan eksistensinya. Jelas, gerakan ini lahir dari gelombang demokrasi yang menyapu Indonesia pasca kejatuhan Soeharto (Indra dalam tirto.id, 2016).

Setelah dideklarasikan, ormas ini langsung mencari panggung untuk unjuk gigi. Tidak sulit untuk mencarinya dalam instabilitas masyarakat di awal Reformasi. Kerusuhan Ketapang, Sidang Istimewa MPR, dan Pam Swakarsa menyediakan panggung tersebut. FPI menunjukkan kontribusinya dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Bagaimana kontribusi FPI?

Dalam Kerusuhan Ketapang, FPI datang sebagai penenang. Kerusuhan ini berawal dari bentrokan antar massa dalam perburuan preman yang diduga membekingi perjudian. Habib Rizieq Shihab dan anggota-anggota lain datang untuk menenangkan massa. Peristiwa pada November 1998 ini menjadi debut FPI dalam panggung dinamika sosial pasca Reformasi (Indra dalam tirto.id, 2016).

Setelah debut yang cukup berhasil, FPI pun bergabung dalam Pam Swakarsa. Pengamanan (Pam) Swakarsa adalah organisasi paramiliter yang dibentuk militer untuk membendung demonstrasi mahasiswa. Mahasiswa berdemonstrasi di depan Sidang Istimewa 10-13 November 1998 untuk menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). FPI bersikap antagonistik terhadap mereka.

Inilah bibit awal dari sifat anti-demokrasi FPI. Sebagai ormas, FPI melawan upaya untuk menjaga demokrasi politik yang baru terbentuk. Justru, mereka mendukung upaya legislator untuk menekan demokrasi dengan dalih "keadaan bahaya". Lebih lagi, keterlibatan ini mendekatkan FPI kepada tokoh-tokoh militer yang masih anti terhadap demokrasi (Indra dalam tirto.id, 2016).

Setelah Sidang Istimewa tersebut, FPI menemukan formula ajaib untuk mendapat perhatian publik. "Lawan arus demokrasi dalam dinamika demokrasi itu sendiri," begitulah bunyi formula tersebut. Formula ini segera menjelma menjadi gut instinct organisasi dalam menyikapi berbagai isu. Mulai dari isu sosial sampai politik.

Dalam isu sosial, FPI sering bersikap main hakim sendiri. They took the law to their own hands. Ini dibuktikan dengan berbagai razia "tempat maksiat" yang dilakukan saat bulan puasa. Padahal, mereka hanya ormas, bukan penegak hukum yang berwenang melakukan razia tersebut. Sikap ini jelas melanggar etika demokrasi serta penghormatan terhadap private property.

Tetapi, ini belum seberapa. Bahkan, FPI juga merazia banyak hal yang dianggap "melanggar Syariat Islam". Mulai dari atribut natal di pusat-pusat perbelanjaan sampai warga yang merayakan Valentine. Padahal, ikut memeriahkan suatu perayaan yang bersifat universal adalah hak setiap orang dalam demokrasi. FPI berupaya secara koersif untuk menghentikan pelaksanaan hak tersebut. They violated democracy.

Dalam isu politik, FPI juga melakukan hal yang sama. Namun dalam skala yang jauh lebih besar. Masih ingat kasus Ahok pada tahun 2016? Ketika MUI mengeluarkan fatwa terhadap ucapan Ahok yang dipotong Buni Yani, FPI paling semangat menghakimi Gubernur Ahok sebagai penista agama. Sebuah cap yang tidak lepas dari public image Ahok sampai sekarang.

Langkah politik masif ini berujung pada pemilihan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Formula yang mereka temukan pada tahun 1998 masih bekerja di tahun 2017. Revolusi pemerintahan disruptif yang dipilih warga DKI Jakarta were overturned by anti-democratic religious sentiment. Untung saja formula ini tidak berhasil menjungkal Presiden Jokowi pada Pemilu 2019 kemarin.

Masalahnya, ormas ini masih menunjukkan defiance dalam kekalahan. Mereka tidak memberikan tanda atau sinyal perubahan apapun. Formula lama masih saja diputar bagaikan radio rusak. Bahkan, juru bicara FPI menyatakan pemerintahan Jokowi sebagai "kuasa gelap yang zalim" ketika ditanya masalah perpanjangan SKT (cnnindonesia.com, 2019). Padahal, pemerintahan Jokowi dipilih secara demokratis.

FPI lahir dari demokrasi. Tetapi, arus demokrasi mereka lawan. Etika demokrasi mereka langgar. Hak warga negara ingin mereka rampas. Mandat demokratis mereka anggap tiada. Memang, sudah sepantasnya izin organisasi ini tidak diperpanjang. Demi keabadian demokrasi di negeri yang kita cintai ini.

SUMBER

Kompas.com. Diakses pada 29 Juli 2019.

tribunnews.com. Diakses pada 29 Juli 2019.

Tirto. Diakses pada 29 Juli 2019.

Youtube. Diakses pada 29 Juli 2019.

Suara.com. Diakses pada 29 Juli 2019.

Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.

Link: qureta.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun