Pada tahun 2016, Kementerian Keuangan membentuk Tim Reformasi Perpajakan melalui KMK-85/KMK.03/2016. Tujuan pembentukan tim ini adalah untuk mempersiapkan dan mendukung pelaksanaan reformasi perpajakan. Mulai dari organisasi dan SDM sampai dengan peraturan perundang-undangan (pajak.go.id, 2019).
Sudah hampir tiga tahun tim ini beroperasi. Bagaimana kabar sistem perpajakan kita? Buruk. Itulah kenyataanya. Pada tahun 2018, tingkat rasio pajak Indonesia baru mencapai 11,5%. Padahal, angka minimum standar rasio pajak internasional adalah 15% (kemenkeu.go.id, 2019). Selisih sebesar 3,5% harus kita penuhi agar sistem perpajakan kita bisa dikatakan efektif.
Selisih ini tidak bisa kita penuhi dalam waktu singkat. Apalagi dengan menaikkan tarif pajak begitu saja. Cara seperti ini sangat membahayakan performa perekonomian kita. Bisa-bisa, pertumbuhan ekonomi kita jatuh. Kalau pertumbuhan ekonomi jatuh, penerimaan pajak pasti menurun. Akhirnya, rasio pajak kita justru semakin rendah.
Lantas, bagaimana cara yang harus ditempuh? Menurut hemat penulis, Tim Reformasi Perpajakan harus melaksanakan tugasnya secara serius. Lakukan reformasi terhadap peraturan perundang-undangan yang melandasi sistem perpajakan kita. Upaya ini perlu dilakukan, agar sistem perpajakan kita lebih mudah dipahami serta menutup loophole yang ada.
Pertanyaannya, perundang-undangan mana yang perlu direformasi? Salah satu penerimaan terbesar perpajakan kita adalah pajak penghasilan pribadi (PPh 21) dan badan (PPh 25). Pajak ini diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Legislasi ini sendiri adalah perubahan keempat dari sistem perpajakan kita. Maka, Tim Reformasi Perpajakan harus melakukan perubahan yang kelima.
Seperti apa perubahan yang perlu dilakukan? Pajak penghasilan kita harus diubah menjadi lebih 'rata' (flatter) dan rendah (lower). Artinya, progresifitas pajak harus dikurangi dengan mengurangi bracket yang ada. Selain itu, tarif pajak penghasilan juga harus dipotong. Supaya ada insentif untuk kegiatan produktif. Sehingga, sistem pajak penghasilan menjadi mudah dipahami dan minim loophole.
Untuk memenuhi kriteria di atas, Tim Reformasi Perpajakan perlu membentuk sebuah sistem pajak penghasilan proporsional (flat income tax). Namun, flat income tax secara murni tidak mungkin diterapkan begitu saja di negara kita. Mengapa? Sebab akan ada banyak golongan menengah ke bawah dan UMKM yang akan mengalami kenaikan PPh tertagih. It is economically unviable.
Disinilah model X-Tax membantu kita mengatasi dilema ini. Sistem pajak ini adalah variasi dari flat income tax. Ia diciptakan oleh seorang ekonom dari Universitas Princeton bernama David Bradford pada tahun 1986. Untuk memahaminya, mari kita kupas dua unsur model X-Tax secara objektif.
Pertama, dalam X-Tax, PPh Badan menggunakan sistem pajak proporsional. Tarifnya sama dengan bracket tertinggi dalam PPh Pribadi yang progresif. Misalkan bracket yang tertinggi dalam PPh 21 adalah 15%. Maka, PPh Badan menjadi flat 15% untuk semua badan usaha yang diwajibkan membayar pajak.
Jadi, badan usaha dikenakan tarif pajak yang effectively flat. Sementara, pajak penghasilan pribadi tetap mempertahankan progresifitasnya (taxpolicycenter.org, 2016). Tetapi, sistem ini memberikan ruang untuk mengurangi bracket dalam PPh 21. Inilah yang harus kita lakukan to make income tax flatter.
Kedua, X-Tax menggunakan belanja konsumsi (consumption spending) sebagai objek pajak. Semua pengeluaran untuk kegiatan investasi yang produktif dibebaskan dari pajak penghasilan. Individu dikenakan pajak atas pendapatannya yang digunakan untuk konsumsi. Sementara, badan usaha dikenakan pajak atas bagian net profit yang dihasilkan perusahaannya.