Bagian Kedua: Si Senjata Pamungkas               Â
Pada bagian pertama tulisan ini, kita sudah membahas urgensi pajak karbon untuk mengatasi masalah polusi. Sekarang, mari kita kupas tuntas berbagai aspek dari pajak karbon ini. Penulis akan mengupasnya dengan menjawab pertanyaan yang sudah diajukan di tulisan sebelumnya.Â
Apa itu pajak karbon? Pajak karbon adalah sebuah market-based policy yang mengenakan pajak terhadap emisi karbon yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil (Parry dan Wingender dalam blogs.imf.org, 2016). Dengan adanya pajak ini, maka emisi karbon menjadi objek pajak.Â
Selanjutnya, seluruh pelaku ekonomi (individu, korporasi, UMKM, dan lain sebagainya) menjadi subjek pajak. Mengapa? Sebab kita semua pasti menghasilkan emisi karbon dalam kegiatan kita.Â
Prinsipnya, pajak ini memberikan harga/biaya bagi emisi karbon dalam perekonomian. Adanya pajak ini mengubah cara pemerintah dalam mengatasi masalah emisi karbon.Â
Pemerintah tidak lagi berperan sebagai legal enforcer bagi value chain untuk mengurangi emisi karbon. Kini, pemerintah hanya membuat produksi jejak karbon tidak lagi gratis bagi value chain.Â
"It will be no longer free to pollute," tandas Perdana Menteri Trudeau ketika meluncurkan pajak karbon di Kanada. Poin inilah yang menjadi alasan utama mengapa kita memerlukannya. Ketika emisi karbon menjadi berbayar, pelaku ekonomi pasti memiliki insentif untuk menguranginya. Â
Lantas, bagaimana cara pajak ini bekerja dan memunculkan insentif tersebut?Â
Semakin banyak karbon yang dihasilkan, semakin tinggi pajak yang harus dibayar. Bagi produsen dan distributor, efek ini mendorong beban pajak bagi kegiatan dengan emisi karbon tinggi.Â
Mau tidak mau, mereka harus memindahkan beban tersebut pada konsumen. Sehingga, konsumen akan menerima kenaikan harga untuk membeli produk yang carbon-excessive. Â