Kebebasan ekonomi? Apa itu kebebasan ekonomi? Mungkin pembaca bertanya heran ketika membaca judul tulisan ini. Penulis sendiri maklum dengan pertanyaan ini. Mengapa? Isu ini tidak pernah disorot sebagai isu utama dalam tiga kali penyelenggaraan Pilpres; Baik 2004, 2009, maupun 2014. Sehingga, masih banyak di antara kita yang belum mengenal istilah ini.
Kebebasan ekonomi adalah adalah wujud otonomi individu dalam kebebasan memilih dan menggunakan barang dan sumber daya ekonomi (Miller dan Kim, 2017:19). Definisi ini menunjukkan kebebasan ekonomi sebagai sebuah alat ukur. Alat ukur apa? Tingkat otonomi individu sebagai homo economicus untuk memanfaatkan barang dan sumber daya ekonomi yang dimilikinya, itulah yang diukur dalam kebebasan ekonomi.
Semakin tinggi tingkat kebebasan ekonomi, semakin tinggi otonomi individu untuk memanfaatkan barang dan sumber daya ekonomi yang dimilikinya. Hal yang sebaliknya terjadi jika kebebasan ekonomi semakin rendah.
Lalu, darimana kita mengetahui tingkat kebebasan ekonomi suatu negara? Untungnya, The Heritage Foundation menyusun sebuah indikator yang sudah digunakan sejak tahun 1995. Lembaga pemikir yang berpusat di Amerika Serikat ini menyatakan bahwa kebebasan ekonomi dapat diukur melalui empat pilar berikut:
Supremasi hukum (hak kepemilikan properti, integritas pemerintahan, pengadilan yang efektif).
Tingkat intervensi pemerintah (perbandingan belanja pemerintah terhadap PDB, beban pajak, tingkat kesehatan fiskal).
Efisiensi regulasi (kemudahan berbisnis, fleksibilitas pasar tenaga kerja, stabilitas moneter).
Pasar yang terbuka (kebebasan perdagangan, kebebasan berinvestasi, kebebasan untuk mengelola keuangan).
Semakin kuat supremasi hukum, efisiensi regulasi, serta keterbukaan pasar maka semakin bebas perekonomian negara tersebut. Sementara, semakin rendah tingkat intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi, semakin bebas perekonomian negara tersebut.
Setelah melihat penjelasan di atas, kita semua pasti bertanya-tanya; Apa yang akan muncul jika perekonomian suatu negara semakin bebas? Jawaban pertanyaan ini hanyalah empat kata; Kemajuan dan kesejahteraan berkelanjutan (Miller, Kim, dan Roberts, 2019:9). Adanya kebebasan ekonomi memberikan inklusi kepada individu untuk memiliki free will dan kesempatan yang luas untuk sukses dan memperbaiki kualitas hidupnya (Miller, Kim, dan Roberts, 2019:13).
Manfaat ini membentuk sebuah kaitan yang tidak bisa dibantah antara kebebasan ekonomi dan kemakmuran suatu negara. Semakin bebas perekonomian suatu negara, semakin makmur negara tersebut, dan begitu sebaliknya (Miller, Kim, dan Roberts, 2019:13).
Namun, kebijakan publik pemerintahan Habibie sampai Megawati memberikan dampak negatif terhadap kebebasan ekonomi Indonesia. Dari tahun 1998 sampai 2004, terjadi penurunan sebesar 11,2 poin. Tingkat kebebasan ekonomi kita yang sebesar 63,4 di tahun 1998 menjadi tinggal 52,1 poin di tahun 2004, termasuk sebagai perekonomian yang mostly unfree.
Selain itu, kebebasan ekonomi kita menjadi di bawah rata-rata dunia dan Asia-Pasifik sebesar 57,1 dan 59,6. Miris, bukan? Lalu, tiba Pemilu 2004 sebagai pemilihan umum presiden pertama di Indonesia. Untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia mampu memilih presidennya secara langsung di TPS, dan bukan melalui wakil mereka di MPR. Pemilu ini berhasil membawa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden RI keenam.
Mengapa? Pertama, kita masih berada di bawah rata-rata dunia dan Asia Pasifik sebesar 59,5 dam 57,6. Selain itu, kita juga masih termasuk sebagai perekonomian yang sebagian besar tidak bebas atau mostly unfree economy.
Bukti ini menunjukkan bahwa kebijakan publik pemerintahan SBY berhasil membawa Indonesia kembali menuju peningkatan kebebasan ekonomi. Sayangnya, peningkatan tersebut tidak cukup untuk mengejar ketertinggalan kita dengan negara-negara lain di dunia. We become economically freer, but not free enough compared with others.
Ketika rezim SBY berakhir, rakyat Indonesia memutuskan untuk mengangkat Joko Widodo menjadi Presiden RI ketujuh pada 20 Oktober 2014. Bagaimana dampak kepemimpinan sosok mantan pengusaha meubel ini terhadap tingkat kebebasan ekonomi Indonesia?
Akhirnya, kita bisa kembali menuju perekonomian yang agak bebas seperti pada awal Reformasi. Bahkan, lebih tinggi 2,4 poin! Selain itu, tingkat kebebasan ekonomi kita juga lebih tinggi dari rata-rata dunia dan Asia Pasifik sebesar 60,6 poin.
Peningkatan pesat ini menunjukkan adanya kebijakan publik yang berorientasi pada pemupukan kebebasan ekonomi di lima tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi. Kira-kira, apa saja kebijakan tersebut? Menurut hemat penulis, ada tiga kebijakan andalan rezim Jokowi yang meningkatkan kebebasan ekonomi Indonesia.
Pertama, kebijakan deregulasi ekonomi yang ditelurkan dalam 16 paket kebijakan ekonomi. Jika dipandang secara keseluruhan, semua paket ini memiliki tujuan yang sama; Mempermudah investor dalam dan luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia. Pemerintah mempermudah proses investasi tersebut dengan menghapuskan regulasi yang tidak perlu, serta menyederhanakan proses birokrasi untuk berinvestasi.
Penyederhanaan inilah yang membuat investasi lebih menguntungkan, dan mendorong kebebasan ekonomi di negara tersebut.
Kedua, kebijakan digitalisasi sektor publik melalui e-government. Digitalisasi sektor publik selalu berbicara soal penyederhanaan birokrasi yang dihadapi oleh masyarakat sebagai pelaku ekonomi. Selain itu, kebijakan ini juga membantu sektor publik untuk melakukan efisiensi dan rasionalisasi.
Upaya ini membantu menekan high-cost economy (ekonomi berbiaya tinggi) dan mendorong kebebasan ekonomi di Indonesia.
Ketiga, kebijakan pembangunan infrastruktur skala besar dengan skala KPBU (Kerjasama Pemerintah Badan Usaha). Selain mendorong pembangunan infrastruktur yang diperlukan masyarakat, skema ini juga mendorong kerjasama sektor publik dan sektor privat. Sehingga, sektor publik bisa terdorong untuk melakukan efisiensi sebagai pelaku ekonomi.
Ketika sektor publik menjadi lebih efisien, maka ketiga indikator yang memengaruhi tingkat intervensi pemerintah akan semakin baik. Dampaknya, kebebasan ekonomi di Indonesia menjadi meningkat.
Apa hubungannya dengan Pilpres 2019? Record pemerintahan Jokowi dalam kebebasan ekonomi inilah yang menjadi alasan utama penulis mendukung pasangan nomor urut 01. Sebuah reformasi besar sedang berlangsung lima tahun belakangan ini. Penulis ingin reformasi besar ini berlanjut hingga 2024, agar negara kita bisa menggapai Visi Indonesia Emas 2045.
Lalu, apakah jika Jokowi kalah dalam Pilpres 2019, maka derap peningkatan kebebasan ekonomi ini akan terhenti? Iya. Derap peningkatan ini jelas akan terhenti jika pasangan nomor urut 01 kalah, dan pasangan nomor urut 02 naik menuju tampuk kekuasaan. Mengapa? Sebab retorika dan manifesto politik-ekonomi mereka sungguh sosialis.
Coba saksikan ulang cuplikan debat capres kedua yang ditayangkan pada 17 Februari 2019. Prabowo Subianto berkali-kali menyebut bahwa, "Pandangan ekonomi kami berbeda. Kami mendasarkan pandangan kami pada Pasal 33 UUD 1945." Artinya, kubu nomor urut 02 percaya pada kebijakan nasionalisasi, rebirokratisasi, serta peningkatan intervensi pemerintah dalam perekonomian.
Prabowo juga mengecam distribusi sertifikat tanah yang dilakukan pemerintahan Jokowi. Padahal, kebijakan ini adalah instrumen penguatan hak kepemilikan properti (property rights) di Indonesia. Beliau justru mengusulkan nasionalisasi tanah (Debora dalam tirto.id, 2019).
Semua ini adalah death bell terhadap kebebasan ekonomi dalam suatu negara. Dalam kata lain, kebebasan ekonomi Indonesia akan terancam jika pasangan nomor urut 02 berhasil menerapkan kebijakan ekonominya. Sebagai seorang Thatcherite, saya mendukung kandidat yang sudah terbukti meningkatkan kebebasan ekonomi Indonesia selama ia memerintah.
Itulah alasan penulis mendukung Jokowi-Amin. Bagaimana dengan kamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H