Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Money

Universal Basic Income dan Tax Ratio Kita

5 Januari 2019   21:08 Diperbarui: 5 Januari 2019   21:34 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah Anda pernah mendengar istilah Universal Basic Income (UBI)? Pada era Revolusi Industri 4.0 di mana penggunaan robot dan artificial intelligence (AI) meningkat drastis, kebijakan ini menjadi populer di seluruh dunia. Mengapa? Sebab kedua penggunaan ini menggantikan tenaga manusia. Sehingga, muncul penganggur struktural dalam perekonomian yang membutuhkan basic safety net untuk bertahan hidup. 

Disinilah UBI mengambil peran.Memang, apa definisi Universal Basic Income? UBI adalah sebuah ide di mana negara harus memberikan transfer payment dalam bentuk sejumlah uang secara reguler tanpa memandang status sosial, pekerjaan, posisi keluarga, ataupun berbagai faktor diskriminan lainnya (Lehto, 2018:1). Definisi ini menunjukkan bahwa UBI adalah basic safety net yang menjamin standar hidup minimum seluruh anggota masyarakat.

Maka dari itu, basic safety net ini memiliki banyak manfaat bagi masyarakat. Berikut adalah manfaat-manfaat tersebut (Yang2020.com, 2018):
A.Mendorong penduduk untuk mencari pekerjaan.
B.Mengurangi birokrasi.
C.Meingkatkan daya tawar dari pekerja dalam hubungan kerja.
D.Mendorong kewirausahaan.
E.Meningkatkan kesehatan fisik dan mental para penerima.
F.Mendorong penduduk untuk membuat keputusan yang cerdas secara ekonomi.
G.Mendorong penduduk untuk terlibat dalam bidang seni, kerja sosial, dan merawat anggota keluarganya.
H.Mendorong keharmonisan dalam keluarga.

Manfaat-manfaar di atas muncul karena UBI memberikan jaminan pendapatan bagi setiap penduduk berusia produktif. Sehingga, kepastian finansial penduduk sebagai penduduk juga ikut meningkat. 

Akhirnya, standar hidup serta situasi perekonomian masyarakat pun semakin maju seiring dengan penerapan UBI.
Tentu saja, ini sangat sesuai dengan mandat sila kelima Pancasila yang berbunyi, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Sebab keadilan sosial berarti setiap manusia Indonesia tidak akan hidup melarat dan sengsara di bawah standar kemiskinan.

Tetapi, ada satu constraint yang menghalangi penerapan UBI di Indonesia; biaya. Jika UBI diterapkan di Indonesia, pemerintah perlu mengalokasikan 669,84 triliun rupiah setiap tahunnya melalui APBN. Pengeluaran ini baru memperhitungkan UBI untuk 27,77 juta penduduk miskin di Indonesia, dengan nilai UBI 2,01 juta rupiah per bulan (Bareksa.com, 2017).

Jika UBI diterapkan untuk 200,7 juta penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas di tahun 2019 (Databoks.katadata.co.id, 2019), maka pemerintah perlu menganggarkan 4.841,61 triliun rupiah setiap tahunnya melalui APBN. Angka yang sungguh fantastis, bahkan lebih besar dari PDB Indonesia di kuartal ketiga 2018 sebesar Rp 3.835,6 triliun (Bps.go.id, 2018)

Bayangkan saja, penerimaan negara dalam APBN 2019 "hanya" Rp 2.165,1 Triliun. Sementara, pengeluaran negara dalam APBN 2019 sebesar Rp 2.461,1 Triliun. Selain itu, tax ratio kita hanya 12,2% dari PDB, masih di bawah standard reserve IMF pada tingkat 15% (Kemenkeu.go.id, 2019). Memaksakan model ideal UBI dalam situasi seperti ini adalah tindakan bunuh diri yang konyol.

Jangankan model ideal UBI. Memberikan UBI untuk 27,77 juta penduduk miskin saja sudah menambah beban keuangan negara sebesar 27,22 persen. Meski memiliki banyak manfaat bagi perekonomian, namun penerapan UBI sekarang juga dapat membuat APBN kita "sakit". Jika keuangan negara "sakit", maka perekonomian kita juga "sakit".

Sehingga, jika kita ingin menerapkan UBI sebagai aktualisasi mandat ideologi negara kita, maka kita perlu meningkatkan penerimaan pajak kita. Bagaimana caranya? Tax ratio kita harus ditingkatkan dengan berbagai upaya reformasi ekonomi secara umum, dan reformasi perpajakan secara khusus.

Terdapat empat upaya reformasi perpajakan paling viable yang dapat dilakukan untuk meningkatkan tax ratio, yaitu:

A.Mempermudah proses pembuatan NPWP melalui sebuah mobile application.
B.Mempermudah proses pembayaran pajak melalui minimarket, payment platform, dan online marketplace.
C.Meningkatkan efisiensi birokrasi dalam pelayanan frontline Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
D.Menutup berbagai loophole yang ada dalam sistem perpajakan melalui penyederhanaan struktur perpajakan.

Mari kita mulai dari upaya yang pertama. Adanya pendaftaran NPWP secara online melalui ereg.pajak.go.id adalah sebuah langkah yang bagus. Tetapi, calon wajib pajak millenial adalah generasi yang tidak lepas dari smartphone. Sebaiknya, DJP membuat suatu aplikasi mobile untuk pendaftaran NPWP yang user-friendly dan menarik.

Sementara, upaya yang kedua ini terinspirasi dari langkah yang sudah diambil oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat baru-baru ini. Semua pembaca pasti tahu tentang hal ini. Bahwa kini, warga Jawa Barat bisa membayar pajak kendaraan lewat lewat ATM BJB, Alfamart, Indomaret, Bukalapak. Tokopedia, dan lain sebagainya melalui aplikasi SAMBARA (Samsat Mobile Jawa Barat).

Langkah ini juga harus diikuti oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pembayaran pajak, khususnya pajak penghasilan sebagai pemasukan terbesar negara harus dipermudah lewat minimarket, payment platform seperti OVO, Grabpay, dan lain sebagainya serta online marketplace seperti Bukalapak, Tokopedia, dan lain-lain.

Upaya yang ketiga berhubungan dengan tingkat kepuasan pembayaran pajak di antara wajib pajak. Pelayanan yang lelet dan inefisien dapat mengurangi kepuasan wajib pajak. Kepuasan pelayanan yang rendah adalag salah satu faktor yang membuat wajib pajak ogah untuk memenuhi kewajibannya. Maka dari itu, efisiensi pelayanan frontline harus ditingkatkan melalui peningkatan penggunaan teknologi serta productivity-based wage system.

Sementara, upaya terakhir ini dilakukan untuk meningkatkan ketaatan (compliance) wajib pajak. Selama ini, wajib pajak besar melakukan penghindaran pajak karena hal ini lebih menguntungkan dibanding menaati sistem yang ada. Mengapa? Sebab sistem pajak yang ada terlalu rumit. Sehingga, sistem perpajakan kita harus dibuat lebih sederhana dan mudah dipahami melalui pengurangan tax bracket.

Inilah cara-cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan tax ratio Indonesia. Jika kita ingin melihat UBI diterapkan di Indonesia sebagai wujud aktualisasi keadilan sosial in our lifetime, then there is no alternative.
DAFTAR PUSTAKA
yang2020.com. Diakses pada 5 Januari 2019.
squarespace.com. Diakses pada 5 Januari 2019.
bareksa.com
fb_comment_id. Diakses pada 5 Januari 2019.
bps.go.id. Diakses pada 5 Januari 2019.
databoks.katadata.co.id. Diakses pada 5 Januari 2019.
kemenkeu.go.id/apbn2019. Diakses pada 5 Januari 2019.
katadata.co.id. Diakses pada 5 Januari 2019.
Disclaimer: Tulisan ini sudah diterbitkan di laman Qureta penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun