Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dictionary.com (2018) menyatakan bahwa spektrum politik adalah sebuah model yang menggambarkan ideologi dan kepercayaan politik secara kontinu, dari sayap paling kiri hingga sayap paling kanan. Terminologi kiri-kanan ini muncul dari French National Assembly pada Revolusi 1789, di mana kaum revolusioner duduk di sisi kiri, dan kaum aristokrat di sisi kanan.
Lalu, bagaimana pijakan ideologis dari terminologi kiri-kanan? Pada era post-modern ini, kekirian (atau kekananan politik) seseorang ditentukan oleh pendirian subjek terhadap berbagai isu sosial dan ekonomi. Semakin reaksioner dan konservatif pendirian subjek terhadap isu-isu sosial, semakin "kanan" ideologinya. Semakin pro-pasar/laissez-faire dan neoliberal pendirian subjek terhadap isu-isu ekonomi, semakin "kanan" pula ideologinya.
Politicalcompass.org (2018) menggambarkan pijakan ideologis ini melalui sebuah model diagram Kartesius sebagai berikut:
Berdasarkan model di atas, kita dapat menganalisis posisi ideologi kedua kubu yang bertarung pada Pemilu 2019 ini. Posisi ini menentukan cara kubu tersebut dalam memenuhi tujuan Pancasila sebagai ideologi negara. Mari kita mulai dari kubu oposisi, alias Koalisi Indonesia Adil Makmur, yang dipimpin oleh Bapak Prabowo.
Secara sosial, kubu Prabowo memiliki pendirian yang reaksioner dan konservatif. Lihat saja partai-partai besar yang tergabung dalam koalisi ini; Gerindra, PKS, Demokrat, dan PAN. Mereka semua memosisikan ideologi partainya sebagai nasionalis-religius. Sehingga, partai-partai ini selalu berusaha mempertahankan (dan mengembalikan) status quo di masyarakat.
Namun, secara ekonomi, kubu Prabowo memiliki pendirian yang anti-pasar dan anti-neoliberalisme. Kubu ini menawarkan fusi sosialisme dan nasionalisme ekonomi kepada para elektorat.Â
Mulai dari janji untuk menyetop impor komoditas primer (CNNindonesia.com, 2018), sampai dengan visi misi Bapak Prabowo untuk menyingkirkan segala bentuk neoliberalisme jika menjadi calon presiden (Kusuma dalam finance.detik.com, 2018).
Tetapi, ada satu pernyataan yang menggambarkan posisi-posisi di atas dengan sangat jelas. Apakah pernyataan itu? Pernyataan Beliau tentang ojek online (ojol). Secara sosial, ini menunjukkan bahwa kubu oposisi ingin mengembalikan stigma lama yang sudah terinternalisasi di masyarakat tentang profesi yang harus ditekuni generasi muda setelah menamatkan pendidikan.
Secara ekonomi, ini menunjukkan resistensi kubu oposisi terhadap disrupsi yang terjadi dalam dunia kerja, yaitu munculnya gig economy. Wigmore (dalam Techtarget.com, 2018) menyatakan bahwa gig economy adalah sistem pasar bebas di mana pekerjaan menjadi temporer dalam kerangka kontrak-kontrak jangka pendek yang dilaksanakan oleh pekerja sebagai freelancer.
Ojol adalah salah satu sektor dalam gig economy. Orang-orang yang menjadi driver ojol adalah freelancer yang lebih fleksibel dalam menentukan kapan dan di mana ia bekerja. Tetapi, bagi koalisi ini, mereka tetaplah tukang ojek. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada seluruh ojol dan opang di seluruh Indonesia, profesi ini dipandang rendah oleh masyarakat.