Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Drama Pemilu 2019 dan Likuifaksi Politik

8 Oktober 2018   11:51 Diperbarui: 8 Oktober 2018   12:07 1966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://tirto.id

Pemilu 2019 adalah salah satu pesta demokrasi terpenting dalam sejarah bangsa kita. Begitu penting, sampai hawa politiknya sudah terasa sejak awal tahun 2018. Berbagai tagar di media sosial pun bermunculan, mulai dari yang bersifat tribalis seperti #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi, sampai dengan yang bersifat universal seperti #2019PilpresCeria dan #2019tetapbersaudara.

Selain kemunculan berbagai tagar, muncul juga berbagai peristiwa politik menjelang Pemilu 2019. Mayoritas tokoh politik kita terangsang oleh hawa menjelang Pemilu untuk melakukan berbagai langkah politik. Banyak yang bersifat positif memberikan edukasi politik kepada masyarakat. Namun, banyak juga yang bersifat sebaliknya.

Bagaimanakah langkah politik yang sebaliknya tersebut? Langkah politik tersebut adalah langkah politik yang bersifat negatif dan tidak memberikan teladan berpolitik yang benar bagi masyarakat. Contohnya adalah penciptaan kabar bohong atau hoaks, mengangkat unsur SARA dalam berpolitik, dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini, bentuk langkah politik yang kedua lebih sering muncul dibandingkan langkah politik yang pertama. Hal ini sungguh memprihatinkan dan mencoreng martabat bangsa kita.

Mengapa? Setiap langkah dalam hidup ini, termasuk langkah politik, memiliki efek pengganda (multiplier effect). "Apa yang engkau tabur, itulah yang engkau tuai" adalah pepatah yang tepat menggambarkan hal ini. Ketika langkah politik yang positif muncul, maka terjadi pembangunan politik. Namun, ketika langkah politik yang negatif muncul, maka terjadi likuifaksi politik.

Likuifaksi politik adalah fenomena yang sangat berbahaya. Sebagai sebuah negara demokrasi, fenomena ini harus dihindari dan ditumpas sedapat mungkin. Namun, sebelum itu, kita perlu mengerti pengertian dari likuifaksi politik.

Apa itu likuifaksi politik? Istilah ini terdiri atas dua kata, yakni likuifaksi dan politik. Prakesh (dalam Siahaan, 2015: 8) menyatakan bahwa likuifaksi adalah suatu kondisi pada massa tanah yang mengalami deformasi secara terus-menerus pada tegangan residual yang rendah, disebabkan oleh terjadinya tekanan air pori yang meningkat yang menyebabkan berkurangnya tegangan efektif dan pada kondisi tertentu mencapai 0.

Sementara, politik adalah sebuah seni atau ilmu yang menjelaskan tentang proses pemenangan atau mengendalikan kekuasaan pemerintahan (merriam-webster.com, 2018).

Sehingga, likuifaksi politik adalah suatu kondisi di mana situasi politik kita mengalami deformasi secara terus-menerus pada tingkat kejujuran yang rendah, disebabkan oleh tekanan langkah pemenangan kekuasaan pemerintahan negatif yang meningkat, yang menyebabkan berkurangnya persatuan dan munculnya skeptisisme di dalam masyarakat.

Lalu, bagaimana likuifaksi politik bekerja di dalam masyarakat? Fenomena ini bekerja sebagaimana likuifaksi tanah, seperti yang terjadi pada Kabupaten Sigi pascagempa dan tsunami yang melanda Sulawesi Tengah. Berikut adalah cuplikan detik-detik likuifaksi pasca gempa dan tsunami tersebut:

Mungkin, sebagian besar dari pembaca sudah melihat cuplikan ini. Likuifaksi memang sungguh mengerikan dan destruktif. "Permukaan tanah bergerak dan ambles, sehingga semua bangunan hancur," cuit Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB.

Hal yang sama juga terjadi pada likuifaksi politik. Landasan politik kita amblas, sehingga menelan semua infrastruktur dan suprastruktur politik yang berdiri di atasnya. Untuk membuktikan pernyataan ini, kita tidak perlu jauh-jauh meninjau suatu periode dalam sejarah kita. Peristiwa-peristiwa politik terkini sudah menunjukkan gejala likuifaksi secara eksplisit.

Salah satu contohnya adalah pemberitaan bohong (hoax) yang diciptakan oleh Ratna Sarumpaet, aktivis HAM dan perempuan Indonesia, sekaligus juru bicara kampanye nasional Prabowo-Sandi. Sebagian besar pembaca pasti sudah mengetahui jalan cerita peristiwa ini. Seluruh media terkemuka Indonesia membuat peristiwa ini jadi headline mereka.

Dari pengakuan awal dan foto wajah yang viral, pernyataan berbagai tokoh politik yang simpatik terhadap beliau, kecurigaan yang mulai muncul dari berbagai kalangan terhadap kejanggalan kronologi peristiwa yang beliau alami, hingga klarifikasi akhir Ratna Sarumpaet sendiri. "Kali ini, saya pencipta hoax terbaik ternyata," ungkap beliau penuh penyesalan.

Kebohongan yang terlanjur meluas ini meracuni ranah perpolitikan kita. Sebagian infrastruktur politik kita ikut tertelan kabar bohong tersebut. Buktinya, banyak tokoh politik kita menyatakan simpati, bahkan membela Ratna Sarumpaet. Mereka ikut menyebarkan informasi tentang peristiwa tersebut di media sosial masing-masing, baik melalui gambar, pernyataan, dan tulisan.

Dengan percaya diri, para politisi tersebut dan organisasi politik yang membelakanginya terus menyatakan bahwa peristiwa itu benar adanya. Confidence ini tetap menyala, sampai Ratna Sarumpaet sendiri mengakui bahwa peristiwa tersebut adalah berita bohong. Ketika hal tersebut terungkap, maka mereka terjerembab pada vicious cycle of dishonesty.

"Kebohongan harus ditutupi dengan kebohongan yang lain," itulah yang kira-kira terjadi. Likuifaksi politik ini berawal dari sebuah kabar bohong yang melanggar prinsip kejujuran dalam berdemokrasi. Pelanggaran prinsip ini menelan dan menjebak infrastruktur politik yang terlibat pada sebuah siklus yang berbahaya. Akhirnya, dunia politik Indonesia menjadi rusak.

Tentu kita tidak ingin dunia politik Indonesia hancur karena likuifaksi politik. Maka, bagaimana cara untuk mencegah hal tersebut? Hanya ada satu cara untuk melakukannya. Kita harus memperkuat kembali penerapan nilai-nilai dasar kepemimpinan dalam jagat perpolitikan kita. Berikut adalah nilai-nilai tersebut (Michell dalam generalleadership.com, 2013).

  • Courage (keberanian)
  • Compassion (kasih sayang)
  • Service (keinginan untuk melayani)
  • Honesty (kejujuran)
  • Persistence (persistensi)
  • Humility (kerendahan hati)
  • Selflessness (tidak mementingkan diri sendiri)
  • Hope (harapan)
  • Creativity (kreativitas)
  • Self-Control (pengendalian diri)
  • Grace (sopan santun)
  • Integrity (integritas)

Kedua belas nilai tersebut harus diterapkan secara bersamaan. Sehingga, kita memiliki sebuah landasan berpolitik yang kuat bagi pembangunan bangsa kita. Akhirnya, drama menjelang pemilu seperti ini tidak lagi membawa kita menuju likuifaksi politik. Justru, drama-drama tersebut menjadi sebuah bagian dari dinamika politik yang sehat, yang akan memperkuat pembangunan politik bangsa kita di masa depan.

Jalan-jalan ke Megamendung, ke Bogor membeli baju. Pemilu 2019 kita dukung, supaya 2045 Indonesia Maju.

Daftar Pustaka

Tulisan ini sudah pernah dimuat di laman Qureta penulis (https://www.qureta.com/profile/RDP) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun