Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Inovasi Teknologi Kesehatan? Rangkul AI dan Mekanisme Pasar!

10 Agustus 2018   22:43 Diperbarui: 10 Agustus 2018   22:52 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah Anda terbaring sakit di tempat tidur? Bagaimana rasanya? Kita semua pasti pernah mengalaminya, dan rasanya sangat tidak enak. Tidak enak karena rasa ketidakberdayaan yang menghampiri, dan pola rutinitas kita menjadi terganggu. Maka dari itu, kesehatan adalah hal yang sangat penting dalam hidup manusia. Begitu penting, bahkan kesehatan menjadi salah satu indikator utama dalam mengukur Indeks Pembangunan Manusia suatu negara (melalui angka harapan hidup).

Mengapa kesehatan begitu penting? Sebab tingkat kesehatan seseorang menentukan produktivitas dirinya selama hidup. Semakin sehat diri seseorang, tentu semakin optimal pula fungsi tubuhnya untuk berpikir dan melakukan berbagai pekerjaan. Sehingga, semakin tinggi tingkat kesehatan seseorang, semakin tinggi pula produktivitasnya.

Hal yang sama juga berlaku untuk masyarakat, karena masyarakat terdiri atas individu-individu. Semakin tinggi tingkat kesehatan masyarakat, maka semakin tinggi produktivitas masyarakat tersebut. 

Semakin tinggi tingkat produktivitas masyarakat, semakin makmur masyarakat tersebut. Maka dari itu, dapat dinyatakan bahwa memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat adalah hal yang sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan umum, yang adalah salah satu tujuan dibentuknya Republik Indonesia.

Namun, bagaimana kabar tingkat kesehatan di Indonesia? Tingkat kesehatan masyarakat Indonesia ternyata masih belum berkualitas. Per tahun 2015, United Nations Development Programme (2016:199) menyatakan bahwa tingkat pembangunan manusia Indonesia berada di peringkat 113 dari 188 negara di dunia, dengan nilai indeks 0,689. Ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan manusia di Indonesia masih berada di bawah rata-rata dunia sebesar 0,717. 

Sementara, ketika diperinci lagi menuju Angka Harapan Hidup (yang mencerminkan tingkat kesehatan masyarakat), penduduk Indonesia hanya memiliki harapan hidup sampai umur 69,1 tahun, berada di bawah rata-rata harapan hidup penduduk dunia sampai 71,6 tahun. Kedua indikator ini sangat jelas mengindikasikan bahwa tingkat kesehatan masyarakat kita harus segera ditingkatkan. Jika tidak, maka penurunan produktivitas sudah menanti di depan.

Lalu, bagaimana caranya meningkatkan kesehatan masyarakat kita? Hal pertama yang harus kita lakukan adalah mendorong penggunaan kecerdasan buatan sebagai sebuah inovasi di bidang kesehatan. 

Memang, apa sih kecerdasan buatan itu? Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) adalah sebuah ekstensi dari kecerdasan manusia melalui penggunaan komputer, seperti di masa lalu, di mana mesin/peralatan mekanis menjadi ekstensi dari kekuatan fisik manusia (Kok et al, 2002:2). 

Kecerdasaan buatan ini bermanfaat untuk memecahkan masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh keterbatasan manusia, membangun kapasitas bagi peradaban untuk menghadapi berbagai masalah yang sulit, dan meningkatkan kualitas hidup manusia (Bowser et al, 2017:5-6). Manfaat ini berlaku pada seluruh bidang kehidupan manusia, termasuk pada bidang kesehatan.

Manfaat-manfaat ini bukan omong kosong penulis belaka. Negara-negara maju di dunia mulai mewujudkan inovasi kecerdasan buatan pada sektor kesehatan dan produksi obat-obatan. Penggunaan kecerdasan buatan sudah diterapkan pada pengelolaan rekam medis, melakukan pemeriksaan rutin, perancangan pengobatan, konsultasi kesehatan digital, suster digital, manajemen penyembuhan, pembuatan obat-obatan, penentuan obat-obatan, pemantauan kesehatan, dan analisis sistem kesehatan.  

Ternyata, penelitian dari Jiang et al. (2017:241) mengungkapkan bahwa penerapan kecerdasan buatan benar-benar meningkatkan akurasi diagnosis penyakit, perancangan metode pengobatan, meningkatkan efisiensi biaya dan waktu, serta mendorong batasan-batasan penelitian dalam bidang kesehatan. Benar-benar sebuah revolusi teknologi yang mengagumkan, dan Indonesia harus segera memulai untuk menerapkannya.

Bagaimana caranya? Disinilah Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) harus mengambil peran utama. Pemerintah pusat melalui Puspiptek harus mulai melakukan riset penerapan teknologi kecerdasan buatan di berbagai rumah sakit milik pemerintah dan BUMN produsen obat. Mengapa rumah sakit milik pemerintah dan BUMN produsen obat?

Selama ini, kebanyakan rumah sakit publik memiliki citra yang negatif di mata masyarakat. Mulai dari pelayanan yang lama dan buruk, birokrasi yang sangat tidak efisien, tenaga kesehatan yang tidak memadai, dan lain sebagainya. 

Adanya kecerdasan buatan ini akan mengatasi segala masalah SDM di atas. Sehingga, rumah sakit publik menjadi sebuah fasilitas kesehatan yang benar-benar melayani masyarakat, serta mampu menjadi pesaing rumah sakit swasta.

Sementara, BUMN produsen obat juga akan sangat terbantu dengan penggunaan kecerdasan buatan dalam proses produksi. Kecerdasan buatan sebagai faktor produksi memiliki biaya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan manusia dalam jangka panjang. 

Kecerdasan buatan tidak memerlukan cuti dan liburan seperti manusia, sehingga menghasilkan output obat-obatan dengan jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih tinggi. Langkah ini akan menekan average cost, dan membuat harga obat-obatan semakin terjangkau bagi konsumen serta makin mudah ditemukan.

Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan insentif pajak bagi rumah sakit dan produsen obat-obatan swasta yang mau menerapkan teknologi kecerdasan buatan. Mengapa? Penerapan inovasi baru seperti kecerdasan buatan pasti memerlukan sunk cost yang cukup tinggi. 

Tanpa insentif pajak, maka rumah sakit dan produsen obat-obatan swasta (yang memiliki orientasi mencari keuntungan) tidak akan mau melakukannya. Sehingga, insentif pajak disini berperan sebagai pendorong inovasi teknologi pada sektor kesehatan yang dikelola oleh pihak swasta.

Kita sudah membahas tentang upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan kecerdasan buatan pada sektor kesehatan. Namun, bagaimana caranya untuk mempertahankan penggunaan tersebut? Percuma saja kita memiliki sarana dan prasarana kecerdasan buatan, jika terdapat halangan (barrier) bagi kecerdasan buatan tersebut untuk membuahkan hasil. 

Maka, untuk mempertahankannya, kita memerlukan sebuah sistem kesehatan (healthcare system) yang mendukung terjadinya disruption dan inovasi teknologi, bukan justru menghalanginya dengan monopoli negara dan birokrasi yang berbelit-belit.

Maka, apa sistem kesehatan yang mendukung hal tersebut? Sistem itu adalah sistem kesehatan yang berdasar pada mekanisme pasar (free market healthcare system). Pada sistem ini, pemerintah tidak lagi menjadi pihak yang mendominasi. 

Justru, pemerintah harus mendorong pasien menjadi konsumen dengan kebebasan memilih, dan rumah-rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta menjadi produsen yang saling bersaing satu sama lain untuk menarik minat konsumen. Bagaimana cara melakukannya? Tabungan kesehatan bebas pajak (Health Savings Account) solusinya. 

Tabungan ini adalah sebuah tabungan bebas pajak yang dikombinasikan dengan asuransi kesehatan, dan dapat digunakan untuk belanja yang berkaitan dengan kesehatan. Kontribusi individu terhadap tabungan ini, bunga yang diperoleh, dan penarikan tunai dibebaskan dari pajak penghasilan. Dengan ini, maka pasien bisa memilih rumah sakit terbaik yang akan melakukan prosedur medis kepadanya. 

Sehingga, rumah sakit menjadi sama dengan produsen di pasar-pasar lainnya, yaitu sangat bergantung pada konsumen yang mau menggunakan jasa rumah sakit tersebut. Akhirnya, terciptalah sebuah mekanisme pasar di dalam sistem kesehatan Indonesia yang didorong oleh pasien sebagai konsumen (consumer-driven health care), yang mendorong rumah sakit untuk terus berinovasi sebagai produsen, termasuk menggunakan kecerdasan buatan.

Namun, apakah artinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus dibubarkan demi inovasi? TIDAK. Justru, BPJS Kesehatan harus dipertahankan dengan menjalankan sebuah reformasi struktural, dengan mengurangi lingkup peranannya dan memotong birokrasi yang terdapat di dalam sistem kesehatan. 

Mengurangi peranannya berarti membatasi peran BPJS Kesehatan hanya sebagai penyedia healthcaresafety net, yaitu menanggung biaya kesehatan bagi pasien yang benar-benar tidak mampu membayar, seperti sistem Medical Endownment Fund (MediFund) di Singapura. 

Sehingga, ukuran BPJS Kesehatan sebagai sebuah organisasi bisa berkurang drastis, dan efisiensi birokrasi semakin meningkat.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa merangkul inovasi teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan mempertahankannya dengan sistem kesehatan berbasis mekanisme pasar yang didorong oleh pasien sebagai konsumen dengan tabungan kesehatan bebas pajak (Health Savings Account), rumah-rumah sakit sebagai produsen, dan pemerintah sebagai penyedia healthcare safety net melalui BPJS Kesehatan yang sudah menjalani reformasi struktural adalah sebuah hal yang sangat penting, dan kita perlu melakukannya mulai sekarang.

YA, SEKARANG.

REFERENSI

Bowser, Sloan, dkk. 2017. Artificial Intelligence: A Policy-Oriented Introduction. https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/wilson_center_policy_brief_artificial_intelligence.pdf.

https://novatiosolutions.com/10-common-applications-artificial-intelligence-healthcare/

https://www.healthinsurance.org/glossary/health-savings-account/.

https://www.moh.gov.sg/content/moh_web/home/pressRoom/pressRoomItemRelease/2017/medifund-continues-to-provide-safety-net-for-needy-singaporeans-.html.

Jiang F, Jiang Y, Zhi H, et al. Artificial intelligence in healthcare: past, present and future. Stroke and Vascular Neurology. 2017;2: e000101. doi:10.1136/svn-2017-000101. https://svn.bmj.com/content/svnbmj/2/4/230.full.pdf.

Kok, Boers, dkk. 2002. ARTIFICIAL INTELLIGENCE: DEFINITION, TRENDS,

TECHNIQUES, AND CASES. http://www.eolss.net/sample-chapters/c15/e6-44.pdf.

United Nations Development Programme. 2016. Human Development

Report 2016. http://hdr.undp.org/sites/default/files/2016_human_development_report.pdf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun