“Sayang opo kowe krungu jerite atiku mengharap engkau kembali...Sayang......”
Petikan lirik itu mewarnai sekitaran stasiun. Sebenarnya aku tak terlalu peduli dengan maknanya, hanya menikmati petikkan senar – senar lalu teringat dengan sejarah hati ini. Cinta namun tak kesampaian karena kebungkaman.
Setiap sabtu pukul 7 petang aku sengaja nongrong di emperan nasi pecel dekat stasiun. Mengingat kembali kejadian 4 tahun lalu yang ingin kukubur namun tak pernah gugur. Ada aku, Sastra, dan milyaran senyuman kala itu. Sering makan malam di sini bahkan kita juga dipaksa berpisah di sini. Huh! Tragis ya? hehehehe......tidak setragis makan makanan mentah. Jadi gini....
Dari seragam putih biru sampai tak berseragam lagi, aku dan Sastra selalu bersama. Sampai tumbuhlah sebuah rasa yang tak biasa dan bisa disebut cinta. Aku berusaha sekuat badai untuk menutup rasa tersebut serapat mungkin. Aku ingin Sastra menyadari dan dialah yang mengatakannya. Sayang sampai waktu memisahkan hal itu tak ada. Mencoba menyiman bom dan tak meledakkannya, usaha yang rumit tapi itulah pengalamanku. Aku berbeda misi dan terpisah dengannya saat kita diterima kerja di tempat berbeda dengan profesi yang sama. Sastra diterima sebagai dosen di sebuah kampus beralamat Yogyakarta sedangkan aku di kediri saja, kota kelahiran.
“Git, berhenti...stop dong air matanya. Kita emang nggak bisa ketemu lagi esok, aku juga nggak bisa neriakin kamu lagi buat bangun pagi. Tapi kamu harus ingat kalau kita masih bisa video call, WA, SMS, telponan atau ngetrip ke Jogja aja kalau ngebet pengen ketemu muka ganteng Sastra Hiraldi. Tiketnya jangan tanya! Bayar sendiri...Git senyum dong, nih air matanya kuhapusin,” jemari Sastra yang penuh gelang hitam mengeluarkan sapu tangan lalu menumpas air mata ini.
akupun memeluknya, tubuh Sastra yang tak terlalu gemuk cukup memberikanku nafas untuk melepasnya. Bismillah akupun bilang,”Kita akan sahabatan terus kan?” Sastra mengangguk. Itulah Pukul 7 malam, naik kereta, stasiun kertosono, 4 tahun lalu, pelukan terakhir rupanya, mata sipitnya juga terakhir memandangku yang menangis tersedu, tangannya menghapus air mata dengan sapu tangan berukir namanya masih kusimpan hingga kini. Janji untuk selalu bersahabat, bersama, berbagi dalam duka atau suka diucapkannya, otakku pun masih merekam itu. Tapi suasana persahabatan tak berlangsung harmonis setelahnya. Bungkam, bersapapun mahal. Mungkin karena Sastra bertemu yang lebih mewah.
Kirana, sebuah nama yang dikenalkannya lewat telepon dan aku mulai terluka. Menyadari kalau Sastra telah menemukan yang lebih, akupun belajar merelakannya tapi itu hanya bualan. Mulai protes dengan keadaan, “kenapa Sastra bukan tercipta buat Gita tapi Kirana?” Cinta bisakah dipaksakan? Hati mulai berontak. “Selamat pagi! Semangat buat hari ini” pesan itu lenyap, kucoba telepon pun kerap dialihkan. Mundur perlahan, merontokkan besarnya sayang itu dengan membuang semua barang yang pernah pecinta hem kotak – kotak tersebut beri. Sayangnya, tak pernah rela ketika tukang loak datang, aku selalu,”Maaf lain kali aja Mas, datang lagi. Barang –barang ini masih ok!”
Sudahlah! Aku sudah berdiri di garis finish, artinya kata sayang, cinta serta gerbong yang serupa telah kulempar. Nama Sastra tetap tertulis sebagai sahabat, kalau masalah masih nongkrong nasi pecel stasiun aku tak bisa uraikan banyak. Aku bahagia bermalam minggu di sana, seperti detik ini, teh hangat, nasi pecel pincuk, lalu lalang manusia menghiasi stasiun terasa seperti permata yang memberi warna. Hemmm... saatnya dinner mewah ala Gita Girania. Huhuhuppp! Baru mau masuk mulut, HP getar. WA lagi, abaikan dulu paling candaan tak penting di grup. Sekk...sek kalem...hatiku tak tenang. Raih HP yang tertidur di saku baju. Ou! Ini benar??? Sastra................
“Git.....”
“Sastra...”
“Aku lagi ada di stasiun, nungguin ojek...” mataku terbuka lebar. Apa yang kulakukan? Bungkus nasi pecel 2, teh hangat 2 dan meluncur.
“Sas..aku di dekat stasiun. Aku ke situ deh! Tunggu....”
10 menit kemudian, Stasiun Kertosono
Tak pernah selesu itu, baju kotak – kotaknya juga tak pernah sekucel itu. Topi terbalik dengan tas rangsel yang tersandar di tangga stasiun, Sastra...itu Sastra.
“Hai...,” sapaku dibarengi detak jantung paling kencang selama aku bersahabat dengan pria putih tersebut.
Tak ada suara, tubuhnya langsung memelukku. Satu detik, dua detik, akupun mulai melepas perlahan dan “Ada apa?”
Sebuah undangan pernikahan diberinya. Hancur pasti, melebih keprosok saat belajar sepeda dan harus apa. Tunggu dulu! Kenapa muka sendu meliputi Sastra? Ada yang salah?
Duduk, cerita pun dimulai, tangga stasiun menjadi pendengar selain aku. Kirana memutuskan kembali dengan mantannya. Alasannya aneh, karena mantannya berhasil bangkit dari kebangkrutan dan sukses. Lalu undangan pernikahan Sastra & Kirana sudah terlajur jadi, biaya gedung juga hampir lunas, semua persiapan sudah 80 %. Melebihi kata parah!
Sebenarnya aku bingung dengan semua kejadian cinta ini. Harusnya aku jingkrang – jingkrak karena Kirana hengkang. Tapi...justru sebaliknya. Aku merasa sakit, kecewa dengan Kirana, tak tega melihat Sastra.
Mencintai memang sakit kalau tak berbalas. Namun dari mencintai kita bisa belajar tentang ketulusan.
Agak puanjang cerita kali ini.......tapi makasih banyak buat yang setia mampir. Terus berkarya dengan hati untuk bangsa ini. salam kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H