“Sas..aku di dekat stasiun. Aku ke situ deh! Tunggu....”
10 menit kemudian, Stasiun Kertosono
Tak pernah selesu itu, baju kotak – kotaknya juga tak pernah sekucel itu. Topi terbalik dengan tas rangsel yang tersandar di tangga stasiun, Sastra...itu Sastra.
“Hai...,” sapaku dibarengi detak jantung paling kencang selama aku bersahabat dengan pria putih tersebut.
Tak ada suara, tubuhnya langsung memelukku. Satu detik, dua detik, akupun mulai melepas perlahan dan “Ada apa?”
Sebuah undangan pernikahan diberinya. Hancur pasti, melebih keprosok saat belajar sepeda dan harus apa. Tunggu dulu! Kenapa muka sendu meliputi Sastra? Ada yang salah?
Duduk, cerita pun dimulai, tangga stasiun menjadi pendengar selain aku. Kirana memutuskan kembali dengan mantannya. Alasannya aneh, karena mantannya berhasil bangkit dari kebangkrutan dan sukses. Lalu undangan pernikahan Sastra & Kirana sudah terlajur jadi, biaya gedung juga hampir lunas, semua persiapan sudah 80 %. Melebihi kata parah!
Sebenarnya aku bingung dengan semua kejadian cinta ini. Harusnya aku jingkrang – jingkrak karena Kirana hengkang. Tapi...justru sebaliknya. Aku merasa sakit, kecewa dengan Kirana, tak tega melihat Sastra.
Mencintai memang sakit kalau tak berbalas. Namun dari mencintai kita bisa belajar tentang ketulusan.
Agak puanjang cerita kali ini.......tapi makasih banyak buat yang setia mampir. Terus berkarya dengan hati untuk bangsa ini. salam kompasiana