Mohon tunggu...
Rahma Dian
Rahma Dian Mohon Tunggu... Guru - Love writing and reading

Do something good it will be good for us. twitter: @dradikta | IG: dradikta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Filosofi Korek Api

26 Juni 2016   09:36 Diperbarui: 26 Juni 2016   10:37 1726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua gelas cincau dingin bertemu, terpaku. Aku dan Bastian ada di sana, memegang cincaunya masing – masing. Tadinya berharap minuman hijau itu bisa memberikan kedamaian namun tak seperti itu. Kami berdua malah saling bungkam, aku ingin memulai tapi lidah terlanjur susah. Mungkin aku harus menyeruput minuman ini, berharap pria yang mengaku cinta padaku itu merespon. “Glegek” alirannya sedikit mengurangi gersangnya fikiran. Tiba – tiba timbul hasrat buat melirik ke samping, ternyata Bastian mengikuti. Bukan hanya itu, dia juga membuka pembicaraan.

“Day, sudah saatnya kita jujur sama Bianca,” mata Bastian terfokus padaku seolah memintaku untuk setuju. Tapi, apa aku bisa? Hati belum sanggup menerima kekecewaan Bianca. Akhirnya,”Day....” suara serak kekasih menyapaku lagi. Aku masih bisu. “Bruakkk....!!” Hentakan dahsyat itu bukan hanya memecahkan telinga tapi membuatku berubah haluan, dari duduk, berdiri, lalu berlari mendekat. Ada apa?

Kerumunan putih abu – abu melingkar, aku dengan Bastian memaksa masuk dan tergelataklah seorang gadis, kepalanya berdarah. Itu Bianca! Kutelan ludah sedalam mungkin. Kualihkan mataku ke Bastian. Ekpresinya tak jauh beda denganku, kaget juga bingung. “Awas...awas!” Perintah keras itu berasal dari pria – pria berkostum putih. Semuanya pun menyingkir dan ambulance membawa Bianca. Bastian memegang tanganku,”Day...kita ke rumah sakit sekarang.”

Tiada kata terucap, alunan Bob Marley pun tak mengiringi. Aku, Bastian terperangkap sepi. Mobil sedikit seperti tempat pengasingan. Mungkin ini saatnya menyimpan suara, berdoa agar Bianca tak luka serius.

Sampai di rumah sakit, Bianca sudah di UGD. Aku dan Bastian duduk di ruang tunggu, semenit kemudian terdengarlah detak sepatu kegalauan. Seorang pria berjalan dengan tongkatnya. Dia terlihat muram, sesekali memegang dadanya, aku rasa jantungnya bermasalah. Sebelahnya seorang perempuan berambut sebahu, sepertinya dia lebih sehat dari pria yang menemaninya. Keduanya duduk bersebelahan denganku, tak sengaja aku melihat air matanya, tak sengaja pula mendengar keluhnya. Yup! Itulah orang tua Bianca, Om Farid dan Tante Nadia.

Hampir 30 menit menanti, namun dokter belum juga keluar. Bastian mengajakku menyingkir. Tampaknya akan ada pembahasan duarius. Memang ada, dan semuanya dimulai di taman rumah sakit, di sebuah kursi putih. “Day...beberapa saat sebelum Bianca dilempar mobil tadi, dia datang ke kelasku dan ngasih sesuatu,” Bastian mengeluarkan sebuah kotak hijau dengan 2 batang coklat di dalamnya. 

Diikuti sebuah pesan tulisan ceker ayam. Akupun meraihnya, membaca pesan itu hingga air mata pun menggantikan fungsi mulut. Aku tak mampu berseru, Bastian menghapus air sendu itu dengan sapu tangan yang tak pernah ketinggalan di saku abu – abunya. Huh! Berat buat bilang tentang pesan itu “Coklat ini mungkin terlalu standar untuk menyatakan isi hatiku. Tapi aku berharap kamu menghargainya. I LOVE YOU_ Bianca.” Respon pacarku?

Bastian bilang kalau belum siap pacaran karena takut nilainya jeblok. Alasannya cukup tepat. Tapi apa aku sanggup berlindung dari dusta itu? Bianca sejak lama menyimpan perasaan terhadap Bastian. Aku baru nyadar kalau aku bukanlah teman yang baik tapi penyerobot. Rasanya aku telah mencintai manusia yang salah. Lalu, haruskah aku melupakan Bastian? Sukar, rasa sayangku terlanjur menumpuk buatnya. Satu semester bersama Bastian banyak sekali hal indah yang tak mungkin sirna dari ingatan.

“Dayana, kamu ke mobil duluan. Aku mau pamitan sama orang tuanya Bianca,” ujar Bastian.

Bastian kembali menemuiku dengan sejuta kepanikan. Wajahnya penuh keringat, matanya merah mau menangis namun tak mampu. Sepertinya hal gawat sedang terjadi. “Day...gawat! Luka di kaki Bianca ternyata parah bahkan dokter bilang kalau dia bakal lumpuh. Kamu tahu respon si tembem? Dia teriak – teriak, papa, mamanya diusir. Suster sama dokter aja diamuk!” Jelas pria tersayangku itu. Kepalaku mulai berputar,”Bagaimana menghidupkan semangat Bianca?”

“Day...sayang...kamu kok diam sih? Yah udah sekarang aku antar kamu pulang. Besok aja kita lihat Bianca,” Bastian memegang tanganku erat dan kami pun berlalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun