Duduk memandangi langit biru yang telah berubah kelam namun bertabur binar kejora melukiskan gemerlapnya malam. Kabut tipis mulai bertandang menyelimuti nuansa senyap, menyampaikan kabar kedatangan pangeran mimpi. Tak peduli seberapa malamkah ini? Aku masih duduk tenang di depan jendela kaca yang telanjang tanpa balutan korden sembari menikmati bulan separuh yang terlihat percaya diri melebihi diriku. Hampa telah mengisi kesendirian di tengah malam hitam, menyeruput cairan gelap berupa kopi biar lebih ramai. Seruput..efek kehangatan mulai menyerbu masuk mengalir memenuhi seluruh rongga. “Gradakk!” pintu harmonika itu selalu memecah keheningan, terjadi setiap hari. Seperti biasa aku berdiri dan menengok ke bawah, pria berkaos merah bertuliskan CR7 juga selalu memandang ke atas, ke arahku. Namun ketika bibir ini hendak mempersembahkan senyuman terbaik, dirinya melempar muka. Sesak merajai jiwa ketika tragedi itu terus berulang, sebagai wanita aku telah menempatkannya di dadaku sebelah kanan. Sayangnya itu tak cukup buat Reyhan Ivaro, dia tetap bersih keras menganggapku tak pernah ada.
Sedetik setelah Rey mengacuhkan diriku, terdengarlah klakson parau menghiasi jalan perumahan itulah Nathan Damara. Setiap menorehkan jejak di depan rumah, pria yang memiliki profesi sama sepertiku serta Rey di tempat yang sama pula selalu memberi keramahannya. Bersamaan dengan itu, tangan kekar Rey ditemani gurat sumringah menyambutnya. Lagi, urat di otakku menggoreskan kata yang mengundang luka. Berapa juta lilinkah yang harus kunyalakan untuk menerangi hati Rey agar dia memandangku. Apa karena diriku miskin prestasi? “Sudahlah” guman itu setia terangkai di dasar hati. Setelahnya virus resah pasti bertengger subur, senyum punah, tubuhpun tak bergairah melanjutkan malam dan menyeruput kopi hingga tetes terakhirlah hal yang kupilih. Hengkang dari jendela kaca, mengucapkan selamat tinggal terhadap kejora beserta rombongannya yang mengemban tugas menyemarakkan malam. Berlajutlah dengan menyapa ranjang, bersiap berpetualang bersama pangeran mimpi.
Sinar oranye menyerobot masuk memenuhi ruangan membuka mata ini secara jelas terhadap semangat juang yang terlukis mewah di depan rumah. Ya! “Perpustakaan Kota hebat” papan nama itu tak pernah luput terbaca dalam hati. Itu perpustakaan gratis yang didirikan Rey di rumahnya. Bukan hanya sebuah namun hampir setiap sudut kota dihiasi oleh perustakaannya. Kembali hentakkan pintu harmonika menyapa telinga, kali ini bukan pria yang senang melalaikanku namun pembantunya. Mataku masih terfokus pada rumah lantai tiga yang melindungi Rey. Tak terlihat pergerakan pria kekar itu, bau mobilpun tak tercium. Mungkin dia sudah melaju. “Lun, bareng yuk!” tawaran itu meluluh lantahkan lamunanku. Mulut masih mengatup, menyaksikan kepedulian Nathan. Sampai tawaran itu berulang. Masih tetap pada sikap semula. Tiba – tiba matanya menyuruhku untuk berucap “Jalan Bos!” kata akrab itu diterima dengan seonggok senyuman yang tak pernah kuperoleh dari Rey. Akhirnya diri ini terbang dengan Ninja hitam 250 bersama nahkoda yang akrab dengan keramahan.
Dinginnya hawa kota bercampur asap hitam mengawal perjalanan. Disituasi itu, anganku melayang memecah sebuah misteri yang bermukim di relung fikiran, mengapa Rey sadis padaku? Rey adalah manusia yang bertekad kuat untuk mengubah kota ini menjadi hebat dengan perpustakaannya. Anak – anak yang tak mampu beli buku bisa membaca sampai tepar di sana. Begitu juga dengan Nathan, impiannya untuk mengubah kota ini menjadi lebih bersih dan hijau sudah mulai terwujud. Telihat banyaknya mahasiswa yang mengikuti programnya yaitu “Go Green Action” menanam pohon di lahan gundul dan aksi mengolah sampah menjadi barang hebat. Lalu diriku? Jangankan mengikuti program emas mereka mendukung pun tidak padahal dosen yang lain turut andil.
Sesampainya di kampus aku bergegas ke kelas setelah mengucap “Terima Kasih” pada nahkoda yang memberiku tebengan. Namun dia mencegahku,”Lun, besok naik sepeda yuk!” melotot mendandangi serius wajahnya yang mulus. Menurutku itu gila, keringat akan bercucuran keluar, bau tak sedap pasti menepel dan kuman akan menyerang mengalahkan pasukan perang. “Itung – itung hemat BBM dan mendukung gerakan go green action. Ingat ozon kita semakin menipis!” ucapan ganas itu diproduksi dibarengi langkahnya meninggalkanku. Akupun masih terperangkap oleh opini mematikannya. Kutarik nafas dalam – dalam mencoba menaburkan keyakinan, menghilangkan semua duri yang membayangi dan sukses, tekad naik sepedapun terbentuk bulat sempurna. Tapi mulut terpaksa menunda persetujuan itu karena jejaknya telah lari bersama jernihnya atmosfir pagi. Nathan benar – benar hengkang membawa sejuta kembimbangan.
Langkah terangkai penuh pesona bersama sepatu hitam serta cantiknya batik Solo diriku melenggang santai menuju kelas untuk menghantarkan mata kuliah “Prose and Drama”. Ternyata Tuhan menguyurkan kejutan, terlihat pria oriental dengan jaket biru sedang bercengkrama entah dengan siapa itulah Nathan. Sengaja kupercepat langkah dan “Besok kita jadi naik sepeda kan?” tutur ketulusan itu kuberikan untuk menjawab tawaran mulianya di lahan parkir barusan. Ucapan tak ada, hanya dua jempol bertabur urat gempita dari bibir tipisnya. Mimik itu cukup jelas bagiku.
Teriknya mentari mengantarkan hembusan panas, membangun sejuta keringat. Hamparan pepohonan sepertinya telah kalah, terbukti kibasannya tak terasa lagi. Setiap siang hal tak mengenakkan itu menyapa, keluhanpun keluar tanpa kendali. “Mau pulang sekarang?” kalimat indah itu datang dari Nathan. “Pastinya” satu kata tersebut telah mewakili isi hatiku yang letih. Sang motorpun telah siap beradu di aspal hitam, nahkoda rupawan bergaya korea juga telah siap, apalagi diriku sudah mendekap erat siap memberikan sapaan terindah buat seluruh penghuni jalanan.
Tiba – tiba motor berhenti di sebuah cafe. “Makan siang dulu yuk!” lantanganya ajakan itu sulit kutolak, apalagi saat memandang mata sayup Nathan aku merasa ada kedamaian yang bersifat abadi. Aku mengenalnya sejak kuliah, namun tak pernah kusadari kebaikannya, jiwa sosialnya, aku hanya tahu kalau dia penghila gaya busana korea. Berjalan masuki cafe dan terhenti di meja nomor 20. Tak ada obrolan berarti, semuanya larut dalam romatisnya musik yang tersuguh damai. Sampai menu yang dipesan menghampiri meja, 2 tempe bakar serta espresso dengan jumlah yang sama. Agenda makan terlampaui dengan sejuta momentum manis, senyuman Nathan terus menggiringku untuk mengagumi sosoknya. Diikuti tatapannya serta mimik ketenangan yang ditransfernya seakan mengisyaratkan ada hal menarik untuk diriku. Seruput espressonya, rasakan sensasi melayang melupakan seluruh beban. Sesekali memandangi lalu lalang manusia yang asyik dengan armadanya melalui kaca cafe. Terhentilah sebuah mobil di emperan toko sebelah lampu merah, keluarlah dua sosok manusia yang kukenal. Pria yang kuimpikan setiap malam dengan seorang wanita bohai. Kaca mata hitam pria itu dilepas, bertubi anak berwajah kumal mengelilingi keduanya. Semenit setelahnya, mereka lari dengan sebuah kotak hijau bertuliskan “Ayam Bakar Wong Solo”. Aura kebahagiaan terpancar dari semuanya. Dua mahluk yang kulihat itu adalah Rey dengan pacarnya, Viola. Seluruh organ di tubuhpun tergores. Ada cinta yang tulus dari dasar hatiku namun tak pernah dianggap olehnya.
“Maaf,” perasaan resah itu dihempas Nathan dengan menangkis sebutir nasi yang bersandar di bibir. “Terima kasih,” balasan itu mungkin tak seberapa, andaikan Rey selembut pria yang duduk setia di depanku mungkin dunia akan lebih indah. Acara santap siang ditutup dengan menggesek ATM di kasir. “Makasih udah traktir,” tuturku. “Senang bisa makan siang denganmu,” sambutan itu bersenandung ria dengan binar terang bertuliskan sucinya kasih mendalam dari seorang Nathan. Kami keluar dari cafe tak ada yang perlu dilukiskan selain kebahagiaan. Tapi semua simfoni indah itu buyar, ketika tangan kuat Rey membukakan pintu mobil buat Viola bersama senyum gurih yang tak pernah kudapat. Pengelihatan tak mampu berpaling sampai Rey melesat meninggalkan memori bernanah. Tipis hingga tak kurasa, arus pilu berupa air mata mengalir. Nathan memegang erat jemari bermaksud memberikan kekuatan, sayangnya aku terlanjur rapuh. “Sudahlah,” ekspresinya jauh lebih serius dari biasanya, candaan yang biasa keluar terkubur di lapisan daging terdalam, air mataku juga dihapusnya. Nathan, sebaik ini? Tak perlu menyalakan berjuta lilin, memboyong kejora atau apapun dirimu telah menghadiahkan penyembuh luka buat jiwaku yang rapuh.
Hiruk pikuk jalanan terasa terbungkam oleh kabut luka yang bersemayam di lubuk jiwa. Disituasi gagap kebahagiaan itu aku diperlihatkan oleh kehidupan lusuh anak – anak jalanan. Terfikirlah untuk mendirikan bimbingan belajar gratis buat mereka. Sekaligus aku bisa menunjukan pada Rey hasil sentuhan jemari lentik ini.
Malam kelam di kamar
Sesampainya di rumah, diriku meniti langkah kecil. Membuat selebaran bimbingan gratis bagi anak – anak jalanan. 5 menit, 50 selebaran telah jadi. Besok aksi ini akan mendatangkan kesilauan buat Rey. “Tolong samperin kotak coklat di depan rumah,” pesan singkat dari Nathan. Ide jitupun bertengger di otak, bawa selebarannya dan datangi kotaknya. Kotak coklat yang dimaksud terdiam di depan rumah, intip isinya dan sebuah gambar hati merah muda. Ketawa melihatnya, setahuku Nathan tak pernah segila ini, jangan – jangan? Ada cinta di..? Sudahlah. Lebih baik masukkan selebaran ke kotak dan kirim SMS,”Nat, ambil kotaknya ada hadiah tuh.” Berlari masuk ke rumah dan reaksi Nathan,”Siap permaisuriku,” lalu kirim pesan ke dua,”Tolong sebarin tuh brosur,” jawaban serupa kuterima.
Keesokan harinya sepulang mengajar
Panasnya mentari mendatangkan kegerahan. Tapi pristiwa itu tertangkis oleh senyuman polos anak – anak jalanan yang memiliki tekad bundar mengubah dunia. Mereka berderet di depan rumah, turun dari sepeda dan menyuruhnya masuk merupakan hal yang kulakukan. Lalu, beri senyuman untuk Nathan. Diapun membalas,”Dandan yang cantik nanti malam aku jemput,” kemudian menggowes sepedanya sekencang mungkin tanpa peduli jawabanku. “Bruakk!” gema itu membuatku menoleh ke arahnya. Puluhan buku jatuh memenuhi jalan, langkah kaki inipun menghampirinya berniat memberikan uluran. Tapi niat itu dilempar,”Aku tak perlu bantuanmu!” matanya yang garang menyerang, apipun membakar seluruh urat kesabaran dan mengubahnya menjadi amarah,”Rey, kenapa kamu benci sama aku?” teriakan tak etis kukeluarkan. Dengan tenang jawaban lirih namun menorehkan catatan hitam di seluruh nadi dihadiahkannya,”Buat apa aku menerima bantuan dari orang yang miskin kepedulian. Hanya datang, pulang demi uang.” Mengambil nafas dalam, mengumpulkan energi untuk menancapkan samurai di jantungnya,”Kamu lihat! Anak – anak yang baru saja masuk, mereka bukti kepedulianku!” Meninggalkan Rey dengan buku – bukunya merupakan langkah pasti.
Kegiatan bimbingan gratis menyisakan kenangan semangat. Kini diri telah berdiri menanti pria yang hobi menebarkan setuhan kebaikan. Dia mengundangku berpetualang malam ini. Suara garang motor hitam Nathan telah menyapa, akupun siap mengarungi gelapnya bumi bersamanya. Beberapa menit kemudian tibalah di sebuah toko benih buah – buahan. “Benih alpukat dan rambutan 50, kirim ke tempat yang udah kusms,” kalimat itu disampaikan Nathan pada pemilik toko. “Besok Go Green Action di kampus, aku ingin ada buah di sana,” tambahnya padaku. “Aku ikut,” kata itu keluar tanpa kendali, sepertinya aku mulai larut dalam dunianya. Mendengar reaksiku, wajahnya kosong dengan mulut sedikit terbuka. Sematkan lantangnya tepuk tangan 1 cm di depan mukanya, terproduksilah kekagetan bercampur tawa.
Kembali menyapa ributnya jalanan kota dan tibalah di sebuah gelora. Kaki berpijak dengan balutan karpet merah tanda kehormatan, jemari digenggam oleh pangeran tampan yang seolah siap menjaga. Terlihatlah berpuluh mawar dengan pot hitam mungil membentuk hati dengan paper bag coklat di tengahnya. Pertanyaan besarpun terlahir namun mulut tak mampu berucap, mungkin masih terkesima dengan situasi yang tak biasa rajutan Nathan. Sesampainya di tengah gelora, mulai diriku masuk ke tempat itu dan memandangi serumpun mawar yang meniupkan hawa cinta. Nathan memegang ke dua jemariku, perkataan romantispun terlahir eksotis darinya,”Aku ingin menjadi 70 % dari tubuhmu, mengalir, menemanimu menjalani kehidupan ini. Tolong beri aku kesempatan untuk mencintaimu.” Aku terbungkam dan aksi romantika selanjutnyapun tersaji, keluarlah puluhan remaja dengan spanduk putih bertuliskan “I LOVE YOU”. Belum pupus menyematkan pukau, Nathan memberiku paper bag yang dari tadi menebarkan misteri. Sebuah tas limbah batok kelapa serta setangkai mawar merah itulah isinya. Pernyataan cinta itu terkesan hiperbola, namun berhasil menghapus torehan tinta emas nama Rey. “Sepertinya penolakan tak akan sanggup kukatakan, kata cinta akan selalu tersemat di sanubari,” sembari tersenyum kata – kata yang sedikit puitis itu kuterbangkan.
Pria dengan gerobak berisi kardus dengan aroma yang tajam diikuti rententan anak berambut pirang termakan mentari dengan kecrekan kumal merupakan fenomena muram yang terekam sesaat setelah hengkang dari gelora. Kalau hanya bungkam berarti mati rasa, memandang setas mawar merah sisa perhelatan cinta yang tergenggam otakku menyala. “Dijual mawar merah murah 5000an,” teriakku, pro kontra dengan Nathan pasti. Tapi ketika tangan ini menunjuk ke suatu sisi, Nathan membisikan persetujuan. Sukses terjual, uangnya serahkan pada mereka. Semoga bermanfaat.
“Semuanya sudah jelas kalau kamu selingkuh, ini buktinya!” foto dilempar Rey ke muka Viola. Bola api terus bergulir diantara keduanya, sayangnya Nathan menyuruhku masuk. Tak ada alasan buat menolakknya, akupun masuk membawa cerita cinta yang tak akan terlupa. Begitu juga Nathan, dia memboyong cinta yang tak terhitung. Sampailah di kamar, lari ke jendela dan tersajilah peperangan itu. Semua berubah saat Viola pergi dan Rey mengarahkan pandangannya padaku, nuansa galau tertulis tebal di wajahnya. Mata elangnya tak mampu lagi mengirim kekuatan, rapuh dan butuh sosok disampingnya. Akupun sedikit melumpuhkan rasa itu dengan meletakkan tangan kanan ke dada lalu menepuknya dua kali. Adeganku ditirukan olehnya. Semoga dia bisa kuat.
Keesokannya Rey menghampiri ketika aku menanti Nathan. “Maaf selama ini aku mengabaikanmu, harusnya aku tahu kalau cinta itu ada padamu..” belum tuntas Rey bicara, Nathan datang. Tak mau ada kata lagi darinya akupun mengatakan,”Nat, Rey mau ajak kita membuat yayasan Kota Hebat. Kita gabung buat mengubah kota ini menjadi lebih baik. Rey dengan perpustakaannya, aku bimbingan belajar gratis dan kamu dengan Go Green Action. Gimana?” Nathan turun dari motor, memeluk Rey dan,”Ide kamu bagus banget, aku setuju.” Rey hanya tersenyum, kebingunganpun sedikit terpancar tapi biarlah.
6 bulan kemudian
Misi untuk kota hebat semakin nyata, semakin banyak anak jalanan yang tergabung untuk mengikuti bimbingan belajar gratis bahkan sudah ada donatur yang bersedia menyekolahkan hingga SMA. Hebatnya lagi, Rey dapat beasiswa kuliah S3 di Inggris dan banyak rekannya yang memberikan sumbangan diantaranya minibus untuk mendukung program “Perpus Berjalan”. Dimana setiap sekolah didatangi minibus saat jam istirahat, murid – murid bisa membaca secara gratis. Nathan tak kalah hebat sudah puluhan hektar lahan gundul yang telah ditanami. Kreasinya dari barang bekaspun telah melalangbuana hingga Asia Timur. Sepertinya kota hebat yang sesungguhnya sudah mulai terpampang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H