Mohon tunggu...
R. Syrn
R. Syrn Mohon Tunggu... Lainnya - pesepeda. pembaca buku

tentang hidup, aku, kamu dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku dan Abah, 1990-1993

18 Desember 2024   14:50 Diperbarui: 18 Desember 2024   14:50 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aula sekolah peternakan, 1990-1993 (pokpri)

Entah siapa atau apa yang mencetuskan ide ke abah, untuk mengirimkan aku ke asrama.  Empatpuluh delapan kilometer jaraknya dari rumah, yang artinya harus hidup terpisah dari keluarga selepas SMP.  Bersekolah di jurusan yang sama sekali tak pernah aku bayangkan.  Tanpa abah juga menanyakan kesiapanku untuk sekolah di situ.

"Di situ sekolahnya bagus"  Kata abah singkat.

Walaupun begitu, keinginanku untuk ikut seleksi masuk sekolah menengah ekonomi tetap dituruti juga.  Diantar ikut seleksi, walaupun aku peserta yang diistimewakan. Aku mengisi formulir pendaftaran sendirian di ruang guru.  Ternyata banyak guru di sana kawan sekolah abah.

Anehnya abah tetap bersikeras agar aku bersekolah di jurusan pilihannya, walaupun jauh dan harus terpisah dari rumah.  Aku pun menurut saja, walaupun dinyatakan lulus di sekolah yang aku inginkan. 

Jadilah di pertengahan 1990 itu, kembali menaiki L2 biru, berboncengan mengantarku ke asrama, setelah dinyatakan lulus seleksi masuk.  Aku masih ingat, di atas setang depan abah menyampirkan kasur tipis berlapis kulit sintetis.  Konon kata abah dibeli dari kelengkapan ruang UKS yang tidak terpakai.

Kasur itulah yang menemani tahun pertamaku di asrama.  Sebulan sekali baru pulang ke rumah.  Sesekali terkadang abah datang, aku masih ingat saat abah datang membawakan roti tawar dan pisang.  Dua makanan yang terus aku makan sebagai tambahan menu asrama yang terkadang membosankan.   Tak boleh berharap banyak dari iuran asrama 20 ribu per bulan, memang.

Kadang-kadang abah mengirimkan uang, lima ribu atau sepuluh ribu rupiah.  Dititipkan pada sopir angkutan umum.  Sesekali dikirimkan via pos, dimasukkan ke dalam kertas karbon sebelum dimasukkan ke dalam amplop yang dibubuhi selembar perangko bergambar presiden Soeharto.

Tak terasa tiga tahun berlalu.  Hingga akhirnya aku menyampaikan keinginanku untuk meneruskan kuliah.  Keinginan yang membuat abah berpikir keras, tentu karena biaya yang tak bisa dibilang sedikit saat itu.

Sampai akhirnya abah mengalah dan berucap: "Kamu boleh meneruskan kuliah, tapi di sini saja"

Hal tersebut diucapkannya karena dulu aku berencana meneruskan kuliah di luar pulau.  Tapi tentu saja aku kembali patuh pada perkataannya.  Walau harus mengikuti UMPTN dan memilih jurusan yang berbeda dengan saat sekolah.

(bersambung) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun