Entah siapa atau apa yang mencetuskan ide ke abah, untuk mengirimkan aku ke asrama. Â Empatpuluh delapan kilometer jaraknya dari rumah, yang artinya harus hidup terpisah dari keluarga selepas SMP. Â Bersekolah di jurusan yang sama sekali tak pernah aku bayangkan. Â Tanpa abah juga menanyakan kesiapanku untuk sekolah di situ.
"Di situ sekolahnya bagus" Â Kata abah singkat.
Walaupun begitu, keinginanku untuk ikut seleksi masuk sekolah menengah ekonomi tetap dituruti juga. Â Diantar ikut seleksi, walaupun aku peserta yang diistimewakan. Aku mengisi formulir pendaftaran sendirian di ruang guru. Â Ternyata banyak guru di sana kawan sekolah abah.
Anehnya abah tetap bersikeras agar aku bersekolah di jurusan pilihannya, walaupun jauh dan harus terpisah dari rumah. Â Aku pun menurut saja, walaupun dinyatakan lulus di sekolah yang aku inginkan.Â
Jadilah di pertengahan 1990 itu, kembali menaiki L2 biru, berboncengan mengantarku ke asrama, setelah dinyatakan lulus seleksi masuk. Â Aku masih ingat, di atas setang depan abah menyampirkan kasur tipis berlapis kulit sintetis. Â Konon kata abah dibeli dari kelengkapan ruang UKS yang tidak terpakai.
Kasur itulah yang menemani tahun pertamaku di asrama. Â Sebulan sekali baru pulang ke rumah. Â Sesekali terkadang abah datang, aku masih ingat saat abah datang membawakan roti tawar dan pisang. Â Dua makanan yang terus aku makan sebagai tambahan menu asrama yang terkadang membosankan. Â Tak boleh berharap banyak dari iuran asrama 20 ribu per bulan, memang.
Kadang-kadang abah mengirimkan uang, lima ribu atau sepuluh ribu rupiah. Â Dititipkan pada sopir angkutan umum. Â Sesekali dikirimkan via pos, dimasukkan ke dalam kertas karbon sebelum dimasukkan ke dalam amplop yang dibubuhi selembar perangko bergambar presiden Soeharto.
Tak terasa tiga tahun berlalu. Â Hingga akhirnya aku menyampaikan keinginanku untuk meneruskan kuliah. Â Keinginan yang membuat abah berpikir keras, tentu karena biaya yang tak bisa dibilang sedikit saat itu.
Sampai akhirnya abah mengalah dan berucap: "Kamu boleh meneruskan kuliah, tapi di sini saja"
Hal tersebut diucapkannya karena dulu aku berencana meneruskan kuliah di luar pulau. Â Tapi tentu saja aku kembali patuh pada perkataannya. Â Walau harus mengikuti UMPTN dan memilih jurusan yang berbeda dengan saat sekolah.
(bersambung)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H