Suara motor yang memasuki halaman rumah sekitar jam 10 malam itu selalu aku tunggu. Â Tak lama setelah mesin motor dimatikan biasanya pintu terkuak, abah masuk tanpa ada kalimat. Â Hanya mengangsurkan bungkusan berisi makanan. Â Biasanya terang bulan dengan isi kacang tanah, atau pukis yang lembut. Â Lain waktu berisikan bungkus kertas yang di dalamnya wangi roti Minseng yang khas. Â Semua makanan yang dibawakan abah itu enak, bahkan aroma dan rasanya pun masih lekat di otakku.
Aku kurang paham dulu abah meneruskan mencari tambahan apa selepas mengajar di SMP 10, Â Banjarmasin. Â Sampai sekarang masih menjadi misteri bagiku. Â Yang pernah aku dengar sekilas, abah dulu sambil ngojek sampai malam. Â Entahlah aku tak pernah menanyakannya langsung.
Lain waktu, Kamis. Â Adalah hari yang menyenangkan. Â Wangi majalah Bobo yang baru terbit diangsurkan kepadaku dan ading-ading. Â Walaupun nyatanya awal 1980 aku masih belum masuk sekolah dasar. Â Sementara tak juga masuk TK karena tak ada sekolahnya di kampungku.
Gambar-gambar dan rentetan huruf yang belum bisa aku rangkai di masa itu anehnya mampu menghiburku, menghibur kami. Â Berusaha menerka-nerka cerita yang ada di dalamnya. Â Abah dan mama pun tak membacakan apa isi majalah itu. Â Mungkin dari situ secara tak sengaja imajinasi kami dibiarkan berkembang. Â Walau penghasilan seorang guru waktu itu pas-pasan dalam arti nyata. Â Nyatanya nyaris setiap kamis, majalah favorit kami itu lancar hadir di rumah sebagai hiburan. Â
Selain soal bacaan, kuping pun yang selalu dimanjakan dengan audio maksimal dari tape dan speaker rakitan abah yang seperti tak putus memperdengarkan lagu terbaru dari Rhoma Irama. Â Album-album Soneta terbaru memang tak pernah absen dibeli abah.
Sekali waktu abah pernah membelikan album lagu anak-anak yang aku minta. Â Kaset Yoan Tanamal yang sampulnya bergambar penyanyi cilik itu berseragam pramuka.
Sesekali pula abah membawaku ke sekolahnya di Kampung Gedang itu. Â Tempat yang sepertinya selalu membuatnya bersemangat. Â Saat waktunya mengajar, aku diminta menunggu di ruang kantornya, sampai nanti saatnya pulang. Â Kadang-kadang aku menjaga ruang kantornya berdua dengan adingku.
Hidup kami di awal 80-an berputar di situ-situ saja memang. Â Walaupun bekerja di kota, rasanya hanya pernah dua kali abah mengajak kami menonton di bioskop. Â Sekali menonton film Janur Kuning, keduakalinya menonton film kungfu bersama mama. Â Judulnya apa aku lupa.
Hiburan lainnya sesekali mengajak kami ke rumah kai (kakek) yang belum ada jaringan listrik. Â Menyenangkan sekali saat musim buah tiba, karena buah kasturi, binjai, ramania, hambawang, seakan bergantian berbuah sepanjang tahun. Â Dan pohon-pohon buah itu tersebar di halaman belakang rumah kai. Â Ke rumah kai tentu saja menggunakan motor engkel biru itu. Â Biasanya aku dan ading duduk di atas tangki. Â Boncengan belakang khusus untuk duduk mama.
Kadangkala mati rasa juga duduk di atas tangki,sampai sandal jatuh di tengah jalan tak terasa. Â Apalagi sebagian besar jalan menuju Sungai Tabuk, rumah kai itu tak beraspal. Â Hanya jalan berbatu. Â Toh hal itu tetap saja terasa menyenangkan. Â Sangat menyenangkan.