Tak perlu dijabarkan secara panjang lebar rasanya bagaimana ajaibnya proses pemilihan di Kota Banjarbaru. Â Sebenarnya awal kontestasi berjalan dengan baik. Â Sampai akhirnya ada dua pasang calon walikota/wakil walikota yang bakal mengikuti pemilihan.
Beberapa hari sebelum pemilihan dilakukan, salah satu pasangan didiskualifikasi oleh KPU setempat berdasarkan rekomendasi Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan. Â Akhirnya tertinggal pasangan calon tunggal yang bakal mengikuti pemilihan kepala daerah.
Anehnya, KPU tidak juga mencetak ulang kertas suara, dengan alasan tidak sempat waktu untuk mencetak kertas suara baru. Â Padahal kertas suara baru tersebut diamanahkan secara jelas oleh Undang-Undang Pilkada. Â Bahwa sesuai pasal 54C ayat (2), untuk calon tunggal harus menampilkan calon peserta pilkada dan opsi kotak kosong pada kertas suara.
Sampai pada akhirnya muncul petunjuk teknis dari KPU untuk tetap menggunakan kertas suara lama. Â Di sisi lain calon yang sudah didiskualifikasi tidak sah untuk dipilih. Â
Tidak adanya opsi kotak kosong menjadikan perhitungan suara akhirnya menghasilkan jumlah suara sah dan tidak sah. Â Ajaibnya surat suara yang tidak sah jumlahnya jauh lebih besar dari suara tidak sah.
Hal yang lucu, di beberapa media, ketua penyelenggara pemilihan umum selalu berkeras kalau proses pilkada sudah berjalan dengan benar. Tapi tak pernah menyinggung perihal ketidakabsahan kertas suara yang digunakan saat pilkada 27 November silam. Â
Fakta penting itu seakan-akan berusaha tidak dimunculkan di media. Entah kenapa begitu.
Sampai akhirnya beberapa warga pun menggunakan haknya untuk menggugat proses pilkada yang terkesan aneh tersebut. Semoga saja gugatan tersebut dikabulkan.  Karena rasanya aneh kalau KPU sendiri menerbitkan peraturan yang bertentangan dengan Undang-Undang di atasnya.
Lebih aneh lagi kalau masih saja berusaha menutup mata akan fenomena akan jumlah suara (yang dianggap) sah tak sampai 50% dari keseluruhan suara masyarakat di Banjarbaru. Â Semoga pemerintah dan penyelenggara pemilihan sadar akan hak masyarakat untuk menentukan pilihannya. Â Bukankah itu inti dari demokrasi, bahwa kekuasaan sesungguhnya ada pada rakyat, di atas siapa dan apapun.
Terakhir, rasanya frasa pemilihan pun kehilangan maknanya, saat masyarakat tak diberikan opsi untuk memilih. Â Masyarakat itu cerdas cerdas, tahu akan hak dan arti dari pemilihan sesungguhnya. Â Tak perlu mengubur dan mengaburkan fakta akan kesalahan dari proses yang berlangsung, dengan dalih semua sudah sesuai aturan.
Semoga proses pemilihan yang sudah dimulai dengan baik akan kembali ke jalur yang benar dan sesuai kaidah Undang-Undang yang harusnya bisa dipahami dan ditaati bersama. Wallahualam.