Susah menemukan orang yang bisa mengimbangi sisi yang-nya. Sisi terang, terkadang angkuh sekaligus menjadi titik fokus dimanapun Arunika berdiri.
Walau kadang-kadang dia pun tak peduli dengan pusaran dunia, yang tak akan pernah berhenti riuh dan saling bertabrakan dengan segala sisi.
Sebaliknya Taksa. Lebih sering diam, menyimak sekelilingnya. Dan juga seringkali diam saat menyimak Arunika berbagi cerita tentang dunianya. Â Nyatanya matanya tak henti menatap sepasang mata yang nyalang terang.
"Cerdas.." sekata itu yang terucapkan, disela-sela penjelasan rancom tentang cadaver dan entah istilah apalagi yang dilontarkan Arunika tanpa tepi.
"Eh?" Kisahnya terhenti. Sekata yany seaoan bertanya balik.
"Kamu..", kata Taksa singkat. Sembari memajukan dagunya ke arah Arunika.
Yang dibilang begitu hanya diam. Tapi tersenyum. Kemudian meneruskan ceritanya lagi. Â Seringkali begitu. Terkadang disambung lagi di lain waktu. Tak bosan-bosan juga akan semua cerita apapun itu.
"Aku ingin belajar dengan kamu", kalimat yang cukup panjang itu terlontar, begitu saja okeh Taksa. Â Mendadak seperti biasa.
Itu adalah kamis. Â Saat duduk di bawah Eugenia yang sedang menghujani rumput manila yang mereka duduki dengan serpihan merah jambunya.
"Apalagi? Semua kamu sudah bisa, kok"
"Caramu menghimpun cerita & belajar dari duniamu.."
"Apalagi itu. Aku hanya bisa merangkum cerita. Kadang pun lelah menghadapinya. Tapi untuk apa hidup ini, kan?"
"Tapi kamu selalu bisa melewatinya. Â Atau aku belajar dari perjalanan jauh, mungkin?"
"Mau kemana, kamu?"
Taksa hanya diam. Â Langit siang masih terang. Pikirannya berputar-putar seakan walet yang menguasai langit sedari pagi.
Arunika masih menunggu jawaban.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H