Aku termasuk salah satu saksi perubahan teknologi di dunia ini. Â Sedari telepon masih pakai kabel, terkadang menggunakan koin di telepon umum. Â Sampai akhirnya disekitar tahun 1999 saat di Malang, terkagum melihat seorang kawan kesana kemari membawa kotak berisikan telepon genggam yang lebih berharga dari apapun. Â Semakin mahal nilainya karena sampai awal tahun 2000-an, harga pulsa begitu mahal, malah sempat ada biaya roaming antar wilayah segala.
Telepon genggam saat itu masih berlayar monokrom, sampai bermunculan smartphone dengan layar warna di akhir 2005.  Akupun baru bisa mencicipi kecanggihannya saat bisa membelinya dari sisa beasiswa saat kuliah di Surabaya.  Saat akhir kuliah itu pula, kembali terkagum melihat perangkat bernama PDA (Personal Digital Assistant) punya pembimbing tesisku.
Tapi masa itu smartphone hanyalah pegangan orang-orang terbatas karena harganya yang jauh tak terjangkau, selain koneksi internet di telepon genggam juga masih belum bisa dinikmati secara maksimal.
Setelah itu teknologi smartphone tak terbendung sejak munculnya teknologi layar sentuh, kuota internet yang sudah tersedia dimana-mana dan harganya juga terjangkau.
Smartphone akhirnya hal yang biasa dan bukan lagi hal yang mewah saat ini.
Selama perubahan teknologi itu, aku mafhum bahwa bagaimanapun smartphone hanyalah alat bantu.  Sekarang mungkin lebih sebagai alat hiburan.  Perangkat untuk bersosialmedia, menghubungkan antar manusia, atau sebagai media anak-anak muda bermain game online.
Akhirnya fungsi utama smartphone untuk menelepon, seakan bergeser. Walaupun masih saja ada yang menghubungi orang lain hanya menggunakan suara, toh seringkali menggunakan aplikasi yang menggunakan kuota alih-alih pulsa.
Walaupun demikian, paling tidak aku masih menemukan orang yang tetap menggunakan telepon sesuai khittahnya yaitu untuk menelepon dengan suara dan sesekali menerima dan berkirim pesan dengan fasilitas SMS (short messages service).
Orang pertama yang masih menggunakan telepon genggam sesuai fungsi dan namanya adalah pembimbing disertasiku. Â Tak ada jalan lain untuk janji ketemu saat bimbingan disertasi, selain melalui jalur telepon dan SMS. Â Sampai aku lulus beliau masih segar bugar tak kurang suatu apa. Â Sama sekali tak terpengaruh dengan benda bernama smartphone.
Orang kedua yang aku kenal tak menggunakan telepon pintar adalah rekan kerja. Â Menghubunginya juga sama, hanya ada tiga cara: menelpon, kirim SMS atau bertemu langsung. Â Klasik dan hidup tetap berjalan seperti biasa.
Menurutku, justru hidup tanpa jaringan internet akan lebih tenang. Â Jauh dari kebisingan warta dan hal-hal tak penting yang dibawa arus media, atau media sosial yang tak berkesudahan. Â Malah bisa fokus dengan hal-hal lain selain masalah fana di dunia maya.
Kalaupun perlu teknologi internet, masih ada diakses melalui perangkat lain seperti misal laptop yang sedang aku pakai untuk mengetik artikel ini.
Jadi, kalau masih ada yang bertanya apakah masih bisa orang hidup tanpa smartphone di zaman sekarang. Â Tentu saja bisa, karena sekali lagi, yang smart itu sebenarnya manusianya. Â Telepon secanggih apapun hanyalah benda mati penghubung manusia antara dunia nyata dan dunia biner yang wujudnya tak teraba.
Seringkali malah, smartphone justru tak membuat manusia tak lagi smart. Â Lebih fokus pada layar daripada menghormati manusia di sekitarnya tanpa sadar. Â
Sejak jaman dulu, manusia punya kecerdasan untuk hidup dan memanfaatkan apapun disekelilingnya untuk bertahan. Bukan sebaliknya, dimanfaatkan sesuatu bernama telepon cerdas untuk ketergantungan.
Manusia tak selemah itu. Â Percayalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H