Cecuap seorang petinggi Kementerian Pendidikan di negeri ini tampaknya meresahkan banyak pihak, yaitu bahwa kuliah tidaklah wajib, tapi masuk ranah tersier. Â Sangat disayangkan juga kalau kuliah hanya dianggap sebatas kebutuhan yang termasuk ranah gaya hidup. Bukan hal pokok dalam alur hidup masyarakat.
Berkaca dari sepotong kalimat petinggi tersebut, sekan-akan pendidikan tinggi hanyalah hak orang-orang yang berpenghasilan di atas rata-rata. Â Artinya masyarakat umum hanya perlu mengenyam pendidikan dasar 12 tahun. Â Menyedihkan memang.
Adanya sistem UKT (uang kuliah tunggal) bagi sebagian masyarakat yang anak-anaknya sudah memasuki masa kuliah memang terasa memberatkan. Â Hal yang baru muncul sejak perguruan tinggi mengikuti skema berbadan hukum (PTN-BH) ataupun berbentuk Badan Layanan Umum (PTN-BLU).
Salah satu implikasi utamanya adalah UKT tersebut, yang walaupun besarannya disesuaikan dengan kondisi orangtua mahasiswa, tapi di beberapa perguruan tinggi tetap dirasa memberatkan. Â Meskipun ada pengimbangnya berupa beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu yang berprestasi.
Besaran UKT juga berbeda-beda bagi mahasiswa lewat jalur SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi), Â SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan yang lewat jalur UTBK/SNBT (atau biasa disebut jalur mandiri). Â Mahasiswa yang diterima lewat SNBP besaran UKT-nya lebih kecil daripada SNMPTN. Â Terakhir adalah jalur mandiri yang grade UKT-nya paling tinggi.
Belum selesai sampai situ, calon mahasiswa yang dinyatakan lulus lewat jalur mandiri,selain UKT juga dikenakan biaya tambahan berupa uang pangkal yang besarannya berbeda-beda, tergantung universitas dan jurusan.
Universitas dan jurusan favorit biasanya mematok uang pangkal yang relatif tinggi dan UKT yang tak kalah tinggi. Â Dua hal yang sempat membuat saya pusing saat salah seorang putra dinyatakan diterima di salahsatu perguruan tinggi.
Besaran UKT sebenarnya relatif fair karena didasarkan atas penghasilan orangtua. Â Akan tetapi tetap saja rasanya pembedaan biaya kuliah sekarang ini terasa cukup berat dibandingkan saat kuliah dulu, dimana biaya kuliah yang masih bernama SPP sama rata semua. Â Asal berhasil lolos ujian masuk, biaya perkuliahan cukup terjangkau.
Oleh karena itulah, pernyataan petinggi kementerian tersebut ada benarnya, jika mengacu besaran uang kuliah yang semakin meninggi. Â Apalagi indikatornya hanyalah pendapatan orangtua, tanpa menghitung berapa orang dalam keluarga tersebut yang memerlukan biaya pendidikan juga. Yang diperhitungkan hanyalah input bruto orangtua tanpa menghitung rasio outputnya dengan detail.
 Ujung-ujungnya, pendapat kuliah adalah kebutuhan tersier menjadi nyata. Â