Kepalaku rasanya membeku, otak membatu, sementara jantung berhenti berdetak. Â Lelaki itu Agus, panitia yang nyaris setiap hari hadir saat pelatihan di kantor setahun silam. Â Tapi raut mukanya jauh dari ramah, walau saat menjadi panitia pelatihan sepertinya dia menjaga wibawa, sehingga terkesan datar dan menjaga jarak.
Bukankah beberapa lalu dia mengirim pesan whatsapp, menanggapi perihal novel Solo Leveling yang barusan aku baca,  menuduh bahwa aku mengikuti selera bacaannya. Enak saja!
Tapi kenapa menjelang ashar, mantan panitia itu menetakkan FN berkaliber 9 milimeter di punggung kiriku? Walau belakangan tersebar berita kalau beberapa kawan satu angkatan pelatihanku hilang tanpa kabar dan beritanya masih beredar. Â Dua belas orang kurasa. Â Dan aku orang yang ke 13?Â
"Maaf, Om.  Aku hanya menjalankan perintah".  Suara datar itu  seakan menembus badanku begitu saja.  Aku masih belum bisa mencerna kejadian barusan.  Saat membuka pintu kayu dan tiba-tiba saja badanku ditekan ke dinding teras depan rumah, kedua tanganku entah bagaimana bisa tiba-tiba terikat erat keduanya.
Aku hanya memejamkan mata saja. Membayangkan kejadian di film-film, saat tubuh tertembus peluru tanpa ampun, dan perlahan cairan merah pekat keluar dari lubang kecil yang tertembus proyektil.
Anehnya aku justru sempat-sempatnya bertanya pula.
"Ini masalahnya kenapa? Kenapa kami?"
Aku mengingat-ingat kedua belas kawanku yang entah dimana rimbanya. Â Roy, Anya, Dewo, Junta, Rigit, Bestaf, Karim, Jabar, Dekri, Bia, Zi dan Nirt. Â Tiba-tiba ingatanku menjadi terang.
"Ini hanya prosedur, lanjutan masalah Covid-19"
Dahiku mengkerut.