Gara-gara tulisan sebelumnya, jadinya malah membuka-buka kenangan kala bersepeda satu dasawarsa silam. Â Ternyata di tahun 2014 itu, masa lucu-lucunya di dunia persepedaan. Â Sedang semangat-semangatnya bersepedaan (yang kebanyakan dilakukan sendirian) ke nyaris semua penjuru kota Jogja.
Mari diingat satu per satu.
1. Puncak Suroloyo
Salah satu puncak dari perbukitan Manoreh ini yang berada di titik 1017 mdpl, dikunjungi di sekitar bulan April. Â Perjalanan yang sebenarnya tak disengaja. Â Awalnya hanya ingin bersepeda mengunjungi orangtua mas Kelik di Kepanewon (Kecamatan) Samigaluh, Kulon Progo yang sudah saya anggap orangtua sendiri.
Hasil iseng nanya-nanya saat mengobrol dengan bapak mas Kelik, malah penasaran ingin melanjutkan perjalanan ke Puncak Suroloyo. Â Jaraknya dari Samigaluh sebenarnya hanya kurang lebih 9 kilometer. Â Akan tetapi namanya juga perbukitan, jalannya naik turun syahdu.
Untungnya setelah tanya sana sini, akhirnya sampai juga di tempat yang dituju. Â Sebenarnya tak ada jalan menuju puncak, Â hanya ada anak tangga yang cuma diperuntukkan untuk pejalan kaki. Â Tapi yang namanya kudu ada pembuktian kalo sudah sampai puncak, jadi akhirnya nekat mengangkat sepeda besi yang beratnya lumayan itu sampai ke atas.
2. Â Tanjakan Petir
Namanya juga sedang semangat-semangatnya, tak bisa mendengar ada tanjakan yang menarik untuk dilintasi, tak perlu waktu lama untuk mewujudkannya. Â Pertamakali tahu soal tanjakan ini adalah dari ceritanya mas Saktya.
Tanjakan ini adanya di desa Ngoro-Oro, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul. Â Jaraknya sekitar 22 kilometer dari rumah kontrakan. Â Lagi-lagi menggunakan sepeda besi andalan satu-satunya, Federal Rivera Terrain namanya.
Walaupun terengah-engah, akhirnya tanjakan dengan elevasi lumayan itu berhasil dilewati. Â Tapi sesampai pertigaan ujung tanjakan langsung berbelok ke kanan menuju jalan raya untuk balik ke arah kota Jogja. Â Padahal kalau belok ke kiri, itu menuju tempat wisata gunung purba Nglanggeran yang rencananya akan didatangi lagi lain waktu, sampai akhirnya belum kesampaian kesitu sampai sekarang.
3. Mubeng Merapi
Sebagian kisah mengeliling jalan raya yang memutari Gunung Merapi ini telah saya ceritakan di tulisan sebelumnya. Â Saat itu sehari menjelang HUT RI ke 69. Â Start jam 8 pagi, kumpul di lapangan Ndegung, melewati Muntilan kemudian terus menuju Selo dan akhirnya istirahat di ruas jalan antara Merapi dan Merbabu.
Saat itu sering berpapasan dengan para (calon) pendaki yang ingin mendaki gunung menjelang hari proklamasi. Â Bedanya mereka naik sepeda motor, kami berempat hanya menanjak pelan naik sepeda besi.
Pulang dari tempat istirahat sekitar sore hari, pas udara sedang dingin-dinginnya,  sampai akhirnya bersyukur saat itu memakai windbreaker yang sagat membantu melindungi dari hawa dingin.  Apalagi saat turunan menuju arah Klaten.
Sungguh perjalanan yang tampaknya sulit untuk dilupakan dan juga diulangi. Â Kisah lain tentang perjalanan kami itu bisa dibaca di blognya mas Radith.
4. Â Mencari Mata Air Bebeng, Klangon
Nah,kalo soal ini telah diceritakan di tulisan sebelumnya dan juga di blognya mas Wijna.
5. Pakem every weekday
Kalo destinasi ini sih, dulu rasanya disambangi nyaris setiap akhir pekan. Â Titik akhirnya tentu saja Warjo alias warung ijo yang menyediakan makanan favorit saya yang sudah lama punah dari daftar menu. Â Konon karena yang biasa bikin piskopyor itu pindah domisili.
Itulah sekilas kenangan bersepeda di sepuluh tahun silam. Â Entah kapan bisa napak tilas bersepeda kembali menyusuri jalan-jalan dan tempat yang semuanya sejuk dan menyenangkan itu. Semoga saja, suatu hari nanti,ya.