Mohon tunggu...
R. Syrn
R. Syrn Mohon Tunggu... Lainnya - pesepeda. pembaca buku

tentang hidup, aku, kamu dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Masalah Panggilan Profesi: Normalisasi Habituasi, Apresiasi Atau Validasi?

16 April 2024   14:23 Diperbarui: 16 April 2024   14:27 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasrat menulis tentang perihal 'panggilan' ini sebenarnya sudah ingin dilakukan sejak lama, namun akhirnya baru terealisasi saat ini.  Itu karena lagi-lagi ada seseorang di sosial media yang melontarkan keinginan untuk dipanggil di tempatnya bekerja dengan imbuhan atau awalan gelar profesinya.  Secara halus minta agar menormalisasi panggilan dengan gelar profesi tersebut, dengan dalih apresiasi.

Sebenarnya terkadang bingung, saat dipanggil dengan gelar pendidikan, atau jabatan.  Alih-alih menggunakan panggilan biasa seperti: pak, mas, dik.. yang biasa disambung dengan nama panggilan.  Saya sendiri justru lebih nyaman dipanggil dengan nama panggilan saja,  nickname yang justru terasa akrab dan hangat.

Begitupun saat memanggil seseorang, saya lebih nyaman memanggil seseorang dengan awalan pak, bu, mbak, mas- begitu, alih-alih memanggil seseorang dengan gelar atau imbuhan jabatannya.  Makanya mungkin saya saja satu-satunya yang memanggil dosen pembimbing sewaktu kuliah dengan 'pak', tak pernah memanggil beliau dengan kata 'prof' seperti yang umum diucapkan teman-teman lainnya.  Toh, beliau juga tak pernah mempermasalahkan soal panggilan.

Saya mengerti bahwa terkadang, panggilan dengan awalan gelar atau jabatan itu lebih pada penghormatan atau penghargaan atas pencapaian seseorang.  Itupun dilakukan oleh yang memanggil, bukan diminta oleh pemilik jabatan atau gelar.

Mungkin kalimat lawas : apalah artinya sebuah nama.  Patut dicamkan oleh seseorang yang mungkin ingin dipanggil dengan nama dan gelarnya.  Ayolah, panggilan hanyalah panggilan, tak ada nilai apa-apa. Nilai seseorang toh terlihat dari kinerjanya, bukan dari panggilan.

Makanya, rasanya terasa aneh kalau sampai seseorang meminta dipanggil dengan embel-embel gelar atau jabatan.   Saya lebih aneh lagi, saat awal bekerja kembali selepas tugas belajar, menemukan budaya baru, dimana orang-orang memanggil atasan dengan nama jabatan, seperti pak kadis, sebagai singkatan dari kepala dinas. Atau pak kabid, sebagai singkatan dari kepala bidang atau pak kabag untuk seorang kepala bagian.  

Saya sih tetap saja dengan kebiasaan memanggil pak atau bu saja.  Syukurnya tak pernah ada yang keberatan, tuh.

Beda mungkin dengan nama panggilan yang menggunakan gelar sejak dulu kala, semisal dok sebagai kata ganti untuk panggilan seseorang yang memiliki gelar dokter.  Itupun sepertinya penghargaan dari masyarakat tanpa diminta yang sudah menyublim pada habituasi sehari-hari.

Tak usahlah iri dengan seseorang yang dipanggil dengan gelar dan jabatan.  Biarkan saja.  Kalau tak merasa nyaman memanggil orang lain begitu ya panggil dengan biasa saja namun dengan tetap takzim.

Tapi jangan sampai meminta orang lain memanggil diri sendiri dengan gelar dan jabatan, lalu berusaha menormalisasinya.  Itu sih namanya meminta validasi.   Soal apresiasi biarkan saja natural, tak perlu sampai diminta.  Biarkan orang lain memanggil kita dengan sebutan apapun, yang penting tetap sopan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun