Menulis ini gara-gara terpicu oleh cerita seorang anggota keluarga yang bersepeda cukup jauh, melewati trek yang cukup menanjak.  Dia bercerita bahwa detak jantungnya naik sampai 183 bpm saat menanjak pada elevasi  40 ke 90 meter.  Katanya lagi itu dikarenakan mengikuti pesepeda yang menurutnya masuk level pro.
Saya pun bilang, bahwa justru pesepeda yang diikutinya itu sangat tidak pro. Â Pamer kecepatan dan kemampuan bersepeda di tanjakan sih mungkin. Â
Saya bisa memberi komentar seperti itu karena teringat tiga kejadian saat bersepeda di Jogja. Â Kebetulan tiga momen itu bersepeda bareng kawan-kawan yang benar-benar pro di bidangnya.
Kejadian pertama saat sata pertamakali bersepeda jarak jauh, start dari Jogja dan finish di Kota Solo. Saat itu bersepeda cuma berdua bersama seorang kawan bernama Bagus. Â Pengalamannya yang paling kerena adalah saat bersepeda lintas pulau Sumatera sejauh ribuan kilometer.
Momen kedua adalah saat bersepeda bersama rombongan saat menuju Kaliurang yang elevasinya lumayan bikin putus asa bagi saya saat itu. Â Ada dalam rombongan adalah Ferdian, pesepeda asli Jogja yang sudah terbiasa dengan tanjakan, dan juga Aristi, seorang dokter yang pernah "iseng" bersepeda dari Jakarta menuju Jogja saat mendaftar program dokter spesialis.
Ketiga adalah Radith, kawan yang beberapa kali menemani saya bersepeda cukup jauh, terakhir kali adalah saat mengawal bersepeda Jogja-Surabaya,walau dia memutuskan hanya menemani sampai titik Cemorosewu saja.
Pada tiga kejadian itulah, saya mendefinisikan bagaimana pesepeda pro seharusnya.
Saat bersepeda rute Jogja-Solo sejauh kurang lebih 60 kilometer, saya bersepeda terlalu semangat dan karena tak mengerti bagaimana mengatur kecepatan dan napas, maka sepeda dikayuh sekencang-kencangnya dan posisi gear juga paling tinggi biar ngebut.
Mas Bagus yang menemani saat itu, bukannya berada di depan, malahan posisi sepedanya lebih sering berada di belakang saya. Â Mengamati cara saya bersepeda. Sampai akhirnya dia menjejeri sepeda saya dan memberi beberapa petuah. Â Saya masih ingat diantaranya dia memberi arahan agar menurunkan rasio gear dan juga menurunkan kecepatan.
Itu katanya untuk menjaga napas dan tenaga agar tetap stabil, selain juga untuk mencegah kaki kram karena terlalu diforsir bersepeda dengan kecepatan tinggi. Setelah itu karena posisinya di belakang, jadi mudah mengontrol kondisi saya sepanjang perjalanan. Â Mungkin karena itu dia mengajak berhenti sejenak sarapan soto di pertengahan perjalanan untuk menjaga kondisi tetap fit.