tertawa-tawa. Â Saya tak tahu berapa banyak karya bagus yang dihasilkan sang pengulas buku tersebut.
Selalu lucu, melihat orang yang bikin review karya seseorang dari kacamata logisnya.  Lalu menyebarkannya seakan-akan bahan stand up comedy yang membuat pemirsanyaSudahlah tak perlu dikisahkan karya siapa yang sedang ditertawakan, toh masih hangat di lapak sosial media.  Saling sahut menyahut, mentertawakan sosok shalih yang diceritakan di novel tersebut.  Bersama alasan-alasan dan asumsi-asumsi penuh dialektika dan logika.
Saya cuma bisa heran, bisa sebegitunya sinis dan meremehkan karya seseorang. Â Boleh saja kasih kritik, tapi tentu proporsional. Â Seakan-akan tidak ada baik-baiknya sama sekali sebuah karya.
Justru reviewer alias pengulas seperti itu saya sangsikan jalan pikirannya. Â Tidak membaca secara utuh pesan yang diselipkan di dalam sebuah cerita. Memang saya pernah ada membaca kejanggalan dalam salah satu karya penulis yang diulasnya. Â Tapi toh masih ada benang merah yang bisa diterima otak.
Mungkin saya merasa belum banyak karya, bahkan belum bisa membuat cerita yang tersusun dengan baik. Â Lebih-lebih menggunakan terkadang mengutip tuntunan dan ghirah untuk beribadah, tentu saya tak mampu.
Tapi biarlah, semua orang punya haknya masing-masing untuk memandang karya seseorang. Â Jadi bahan renungan atau bahan tertawaan, terserah yang membaca.
Memang, mentertawakan sebuah karya, apa susahnya? Â Mencari ibrah dibalik kisah, itu yang tak mudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H