Mohon tunggu...
R. Syarani
R. Syarani Mohon Tunggu... Lainnya - pesepeda. pembaca buku

tentang hidup, aku, kamu dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Bersepeda Gara-Gara Gengsi

19 Februari 2023   14:23 Diperbarui: 19 Februari 2023   15:52 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Niat bersepeda yang agak menanjak sudah ditetapkan sejak kemarin, karena sudah cukup lama tidak sepedaan rada jauh dan nanjak-nanjak.  Kebetulan sangat sedikit alternatif untuk destinasi yang menyuguhkan tanjakan, tapi tujuan utama tentu saja Bukit Mandiangin dengan titik finish Pesanggrahan Belanda yang dulunya juga adalah komplek Sanatorium di masa lampau, jaraknya sekitar 27 km dari rumah dan titik puncak tujuan adalah sekitar 450 mdpl.  

Kebetulan juga sedari lama ingin mencoba bersepeda dengan Soloist 71 yang single gear, artinya cuma punya satu chainring alias gear depan dan satu gear belakang dengan rasio 46:16.  Sebenarnya kemarin sudah ingin mengganti freewheel belakang dengan gigi 18, tapi apa daya tak bisa dicopot, akhirnya nekat saja sudah, dengan niat akan berhenti di titik dimana sepeda sudah tak mampu lagi di kayuh karena walaupun ketinggiannya cuma 450 mdpl, tapi jalanannya cukup curam dan melelahkan, bahkan saat dijalani dengan roadbike.

Start dari jam 7 pagi, mengayuh dengan santai, melintasi Kota Banjarbaru, dan sesampainya di Simpang Empat lurus ke timur untuk kemudian singgah di warung pinggir jalan membeli sebotol air minum lokal, merknya Prof seharga tiga ribu rupiah.  bersepeda pagi memang jarang diawali dengan sarapan, karena biasanya bikin error perut saat di jalan, jadi rencananya nanti saja sekalian brunch sesampainya di atas.

mampir beli air mineral dulu | dokpri.
mampir beli air mineral dulu | dokpri.

Mampir sejenak, lalu melanjutkan perjalanan melewati markas tentara Yonif 623, terus lagi ke timur melewati pabrik air minum Prof yang barusan dibeli, sampai akhirnya tiba di pertigaan.  Jikalau lurus itu menuju Aranio dan berujung di pelabuhan waduk PLTA Riam Kanan, ke kanan adalah menuju Tahura Mandiangin yang puncaknya adalah destinasi utama sepedaan hari ini.  Sempat bimbang ingin jalan yang lurus, tapi karena sudah niat maka memutuskan berbelok ke kanan.  Mungkin nanti pulangnya memutar lewat jalan yang lurus tersebut.

lurus apa belok? | dokpri
lurus apa belok? | dokpri

Setelah berbelok ke kanan, nantinya akan melewati perkampungn, dan sudah masuk wilayah hutan lindung.  Tahura Sultan Adam sebagian wilayahnya juga masuk KHDTK alias Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus, yaitu untuk hutan pendidikan di lapangan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, kampus tempat saya kuliah dulu sewaktu S1.

Perbatasan antara perkampungan dan wilayah Tahura sekilas pun akan terasa saat memasuki area hutan yang relatif tak berubah selama puluhan tahu, rasa sejuk menyambut siapapun yang memasuki daerah situ.  Sebelum nantinya sampai di gerbang, dan membayar retribusi yang dikelola oleh Kantor Tahura yang berada di bawah hirarki Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan.  Untuk sepeda cukup bayar 11 ribu saja, itu untuk bayar masuk satu orang plus asuransi.  Sepeda sendiri tak dikenakan biaya, menyenangkan memang.

memasuki Tahura : dokpri
memasuki Tahura : dokpri

Tak jauh dari gerbang dan pos jaga, langsung disambut oleh tanjakan yang tentu saja gagal dilewati dengan cara mengayuh, elevasinya cukup curam sehingga mengharuskan turun dari sadel dan menuntun sepeda, hal yang jarang dilakukan dengan sepeda dengan gear yang cukup besar.  Tapi tak apalah sekali-sekali begitu.

Terus memasuki hutan, sampai akhirnya ketemu awal tanjakan yang tak bakal putus-putus sampai ke puncak Mandiangin, ternyata sebelum belokan malah bertemu kawan sesama penggemar sepeda Federal, tapi tadi dia bawa sepeda modern, dengan gear belakang yang luar biasa, lingkaran paling besar berukuran 42T, artinya punya 42 gigi yang tentu saja akan terasa ringan sekali saat menanjak.

Kawan saya itu tak sendirian rupanya, tapi bawa sekondan sejumlah dua orang, di sinilah awalnya niat saya yang awalnya cuma ingin nanjak sekuatnya, malah memutuskan nekat untuk melanjutkan perjalanan sampai atas, penyebabnya cuma gengsi itulah.   Saat di belokan yang tanjakannya cukup berat, kedua orang kawannya kawan saya itu, menyemangati tapi dengan nada meremehkan dan sekilas saya mendengar ada nada meragukan terlontar dari mulut salah seorang itu.

Namanya gengsian dan suka panasan saat dibilangin gitu, sepeda pun dikayuh sekuatnya, padahal pinggang rasanya mau rontok dan kaki serasa terbakar, namun belokan yang menanjak cukup curam itu akhirnya bisa dilewati, walau terpaksa turun lagi saat di ujung tanjakan, karena tanjakannya tak putus sampai situ.  Cukup menyenangkan melihat reaksi mereka yang tak lagi melontarkan komentar macam-macam.

Beberapa kilometer dari situ, sampailah di kolam pemandian Belanda jaman dulu yang masih terpelihara dengan baik, rencananya dari situ mungkin balik arah dan pulang, apa daya dua orang yang tadi manas-manasin di belokan justru memutuskan terus menanjak, walau sambil mendorong sepedanya.  Saya pun memutuskan melakukan hal yang sama.

kolam renang Belanda jadul | dokpri
kolam renang Belanda jadul | dokpri

Beristirahat sebentar untuk kemudian memutuskan melanjutkan perjalanan lagi, diawali dengan mendorong sepeda lagi tentu saja.  Baru saat tanjakan mulai dirasa meredam sepeda kembali dinaiki dan dikayuh lagi.  Beberapa kali bertemu dan berpapasan dengan sepeda motor dan mobil yang lalu lalang naik dan turun bukit, maklum lagi akhir pekan.  Tahura memang alternatif akhir pekan yang menyenangkan.

Beberapa kali bertemu rambu yang meminta pengunjunng untuk membatasi kecepatan maksimal 20 km/jam.  Maklumlah jalan cukup sempit untuk dilalui dua mobil yang berpapasan sekaligus.

sepeda ya susah dengan kecepatan segitu | dokpri
sepeda ya susah dengan kecepatan segitu | dokpri

Kayuhan campur dorongan selama kurang lebih satu jam akhirnya mengantarkan saya sampai di puncak Mandiangin, di Pesanggaran Belanda, sayang tadi lupa memfoto pesanggaran yang direnovasi dan dibangun ulang oleh Pemprov KalSel.  Dulunya cuma tersisa pondasi dan beberapa sumur yang sumber airnya masih aktif.  Tentu saja selanjutnya adalah foto sepeda yang akhirnya sampai juga di sana.

keren ya? | dokpri
keren ya? | dokpri

Sinyal provider selular sekarang jauh lebih bagus rupanya, makanya menyempatkan diri update  foto perjalanan di media sosial dan di status aplikasi pesan.  Jam 10 pagi di hari yang cerah membuat cuaca terasa cukup panas, padahal sebelumnya mendung.  Untunglah dapat bantuan tambahan air minum dari pengelola pesanggrahan.  Perut yang terasa lapar juga secara tak sengaja terobati oleh kawannya kawan yang ternyata membawakan nasi pecel, duh rejeki tak bakal lari kemana memang.

panas! | dokpri
panas! | dokpri

Setelah dirasa istirahat cukup, menjelang jam 11 lewat memutuskan kembali turun dan pulang, tapi menyempatkan diri mampir sebentar di spot yang sedang hits, yaitu landasan Paralayang yang posisinya tak jauh dari tempat rehat.  Walau tak ada yang terbang dengan paralayang saat itu.  Tarif sekali terbang lumayan juga sih, sekitar 500 ribu dan katanya nanti mau dinaikkan setelah masa promosi habis.  Bagi yang suka ketinggian tentu sangat menarik, tapi tidak bagi saya, itu terasa menakutkan.

di depan landasasan paralayang | dokpri
di depan landasasan paralayang | dokpri

Setelah mampir dan foto sebentar, perjalanan pulang dilanjutkan.  Kalau awalnya menanjak, endingnya tentu menurun dan merasa ragu juga karena rem cuma terpasang di roda depan. Akhirnya saat turunan curam dan panjang, saya pun mengakalinya dengan rem manual, yaitu pakai sendal gunung yang ditempelkan di roda belakang, seperti masa-masa kecil dulu.  Kata kawan saya di belakang, rem manual saya menerbitkan bau sangit dan terbakar akibat gesekan ban dan sandal.  Untunglah aman sampai dasar bukit.

Melewati gerbang tahura lagi, terus saja menuju barat, sayang sekali udaranya panas sekali, sampai akhirnya memutuskan untuk mampir di minimarket karena langit sudah terlampau panas dan haus.  Beberapa kali juga kembali mampir di bawah pohon di pinggir jalan saat panas terasa membakar kulit.

mandinginkan diri | dokpri
mandinginkan diri | dokpri

Setelah istirahat dirasa cukup, perjalanan dilanjutkan, mengatasi beberapa tanjakan yang lumayan sebelum sampai kembali di Simpang Empat dan akhirnya sampai pulang kembali ke rumah tepat jam 1 siang.  Total perjalanan dan istirahat sekitar 6 jam dengan jarak tempuh sekitar 27 km sekali jalan, jadi pulang pergi sekitar 50 km.  Perjalanan yang cukup menyenangkan.

rute sekali jalan | dokpri
rute sekali jalan | dokpri

Mungkin lain waktu akan dicoba lagi perjalanan berikutnya, tapi dengan menggani freewheel dengan gigi yang lebih besar biar lebih ringan saat dikayuh. Demikianlah sedikit catatan perjalanan bersepeda hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun