Di kampungku, mama memang panggilan yang umum untuk ibu, pasangan abah yang merupakan panggilan untuk bapak. Â Mamaku adalah seorang guru sekolah dasar, yang sekolahnya selalu saja di dekat persawahan, dan aku yang dulu sewaktu kecil sering diajak menemani ke sekolah, karena memang tidak ada yang menjaga sewaktu di rumah, karena abah juga harus pergi mengajar.
Pagi-lagi aku yang waktu itu belum genap empat tahun dinaikkan ke boncengan sepeda phoenix, kaki diikat dengan kain agar tidak bergerak dan takut kena jeruji ban sepeda, kemudian tenang di belakang, sementara mama mengayuh sejauh entah berapa kilometer ke sekolah yang dikelilingi persawahan.
Menunggu mama selesai mengajar, yang entah kenapa lebih sering menjadi wali kelas tiga atau empat. Â Aku menunggu di kantor sekolah yang terbuat dari kayu, sampai siang hari saatnya sekolah usai dan kembali pulang ke rumah, entah berapa lama persisnya pagi sampai siang dijalani seperti itu.
Seumur hidup, mama tak pernah marah kecuali sekali karena aku yang kecil meminta hal yang tidak bisa dipenuhinya, tapi itupun marah yang biasa, yang seperti biasa halnya marah seorang ibu, tak pernah keras dan tak pernah lama. Â
Mama pula tempat meminta ijin jika hujan menggoda untuk bermain di derasnya, hiburan masa kecil yang selalu ditunggu di bulan menjelang november. Â Ijin yang selalu diberikan, karena tak pernah berani meminta ijin kepada abah, walau seperti biasa ada tambahan syarat kalimat: "kalau abah marah, mama tak tanggung jawa, ya" . Â Walaupun nyatanya tak pernah ada larangan sepanjang waktu sewaktu hujan tiba.
Sampai akhirnya tiba waktunya, aku yang sudah bekerja, terkadang saat libur gantian membonceng dan mengantarkan mama ke sekolah, yang lagi-lagi di tengah persawahan. Â Tentu saja naik sepeda motor, dan mama memang tak bisa naik motor. Â Justru maka yang membelikan motor saat awal bekerja dan gaji saat itu tak cukup untuk membeli kendaraan bermotor untuk ke kantor yang jaraknya puluhan kilometer dari rumah.
Mama selalu menganggap kami anak-anaknya adalah anak kecil sepanjang waktu, yang harus tetap diperhatikan dan seringkali memberikan uang tambahan, bahkan saat melanjutkan kuliah ke tingkat tertinggi pun, masih saja menyempatkan diri mengirimkan uang untuk anak-anaknya, dengan senang.
Tak ada lagi hal yang menarik tentang mama, selain kehidupan yang sederhana dan tak pernah berpikir untuk apapun, selain memastikan kami, anak-anaknya agar selalu baik-baik saja. Â Bahkan tak pernah pernah memperlihatkan sakit yang dideritanya, selalu terlihat hidup berjalan seperti biasa, dan akan selalu sibuk menyediakan makan siang saat berkunjung ke rumah masa kecil kami, saat semua anak-anaknya sudah berkeluarga.
Sudah menjadi kebiasaan rasanya, saat dari teras langsung menuju ke dapur di belakang rumah, dimana biasa mama sibuk, lalu memanggil dan menyalami serta mencium kedua tangannya. Â Lalu memperhatikan mama yang sibuk entah apa lalu tiba-tiba makan siang sudah tersedia, lalu duduk di lantai kayu, menikmati makan siang bersama-sama.
Sampai akhirnya, pada suatu saat rumah masa kecil kami terasa kosong dan sepi, dan terkadang saya tertegun saat sampai halaman rumah, ingin berlari ke dalam dan langsung ke dapur seraya memanggi mama. Â Tak ada lagi mama yang bergegas mencuci tangannya, lalu tersenyum mendatangi anaknya yang tak bisa sering-sering menemuinya.
Rumah masa kecil kami sudah kehilangan nyawanya, tak lagi terasa hangatnya, saat mama tiada.
Ah maaf, aku kehabisan kata-kata. Â Selamat hari ibu, selamat merayakan hari esok dengan perempuan yang memberikan kasih sayangnya melebihi cintanya pada siapapun, bahkan pada dirinya sendiri. Â Beruntunglah kalian sata ini yang masih bisa memanggil dan mencium kedua tangannya.
Aku iri. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H