Warung Mama Upik adalah destinasi utama saya saat waktunya jam makan siang, cukup berjalan kaki sekitar lima empat menit, jaraknya memang cuma sekitar 200 meter saja dari kantor.
Menu makan saya monoton, kalau tidak ayam goreng, ya hati goreng, kadang ditambah telor ceplok, plus teh tawar hangat tentu saja. Â Sambalnya yang terbukti enak dan khas. Â Tapi ini bukan kisah menu di warung makan itu, mungkin nanti saja berkisah tentang menu makan siang yang tak bosan-bosannya saya pesan setiap kali ke sana.
Kebetulan saat makan tadi, ada satu pelanggan yang datang, memesan nasi sop, lalu duduk tenang dan makan di pojokan saat pesanannya datang. Â Saya yang memang suka SKSD (sok kenal sok dekat) menanyakan pertanyaan standar, seperti mau kemana, sednag sibuk kerja apa.
Ternyata lelaki separuh baya itu bekerja sebagai pengelola karamba yang dimiliki oleh pembakal (kepala desa) setempat. Â Katanya pembakal punya 20 karamba yang berjejer di sungai, lokasinya juga tak begitu jauh dari kantor.
Sungai utama di kecamatan sekitar kantor memang terkenal dengan kejernihan airnya, walau sekarang cukup padat dengan hadirnya karamba-karamba masyakarat sekitar yang biasanya dipenuhi oleh dua jenis ikan, yaitu nila dan bawal.
Mengelola karamba milik orang lain itu katanya, tugas utamanya adalah memberi makan sedari awal bibit datang sampai nanti panen yang waktunya bervariasi. Â Ikan nila perlu waktu pemeliharaan selama 6 bulan, sementara bawal perlu waktu yang lebih singkat yaitu 3 bulan untuk sekali panen.
Upah yang diterima juga bervariasi, tapi rata-rata dalam bentuk bagi hasil keuntungan setelah panen, bisa berlaku pembagian keuntungan fifty fifty, Â artinya laba bersih dibagi dua antara pemilik karamba dan pemelihara. Â Atau bisa juga satu banding tiga, tentu saja dua pertiga kentungan adalah bagian pemilik usaha.
Masalah utama sekarang katanya adalah mahalnya harga pakan ikan, yang sekarang sudah mencapai 400 ribu per sak atau per karungnya. Â Sementara satu karamba ikan bisa menghabiskan tiga sak per harinya. Â Bayangan saja berapa uang yang dihabiskan hanya untuk modal pakannya saja.
Empat ratus ribu itu harga pakan ikan yang mengapung di permukaan air, untuk pakan yang tenggelam dalam air katanya harganya lebih mahal lagi, bisa mencapat setengah juta per karungnya.
Padahal pabrik pakan cukup lama sudah berdiri di kota tetangga, kira-kira satu jam perjalanan dari lokasi sungai tempat karamba-karamba ikan itu berjejer, tapi tetap saja harganya terus melonjak, sepertinya dikarenakan harga bahan baku yang juga meninggi. Â Mungkin karena pasokannya yang harus didatangkan dari luar daerah.