Jika ingin mencoba rasa makanan yang benar-benar paten, memang haruslah di tempat dimana makanan tersebut berasal. Kenyataannya memang semakin jauh makanan itu dari kampungnya, semakin berubah pula rasa aslinya.
Saya beruntung akhirnya bisa pergi ke Sumatera Barat sekitar bulan Juli empat tahun silam dalam rangka tugas. Usai tugas saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk pergi ke kota di atas ketinggian yang sejak lama ingin saya kunjungi, kota tempat kelahiran tokoh proklamasi idola saya yaitu bung Hatta.
Menjelang sore naik mobil omprengan sejenis elf kalau di Surabaya, melewati kawasan Pegunungan Bukit Barisan, air terjun Lembah Anai yang letaknya persis di pinggir jalan, rel-rel kereta api tua yang malang melintang di beberapa ruas jalan. Perjalanan yang terasa menyenangkan dan sangat menenangkan, lebih-lebih udara yang sejuk apalagi saat mendekati pusat Kota Bukittinggi.
Setelah sampai penginapan, berjalan sebentar menengok landmark Bukittinggi yaitu Jam Gadang, akhirnya memutuskan untuk mencari makanan. Kapan lagi bisa makan masakan Minang langsung dari asalnya.
Menjelang malam hari, makan nasi dengan lauk ikan dan ayam di warung sekitar pasar, lupa saya persisnya. Ingat rasa lupa tempat jadinya. Tapi aroma yang tebal memenuhi aroma penciuman, rasa bumbu yang kuat dan membuat lidah lupa diri di tambah udara dingin malam, lengkap sudah menjadikan alasan untuk meminta nasi tambah.
Masakan sesederhana itu saja kenapa jadi enak sekali, seakan-akan takaran bahan bumbunya benar-benar pas dan penuh. Ibarat pembangunan sebuah gedung, semua bahan yang diperlukan supaya bangunan menjadi kokoh benar-benar dimaksimalkan. Rasio semua bahan-bahan masakan yang terhidang terasa jelas dan penuh, seakan-akan takarannya benar-benar diperhitungkan dengan presisi.
Tapi itu belum seberapa, kejutan masakan Minang justru terjadi saat secara tak sengaja memesan Nasi Kapau di sebuah lapak dekat penginapan. Padahal travel sudah dalam perjalanan untuk menjemput dan mengantarkan kembali ke Padang.
Tak punya ekspektasi apa-apa, memesan seporsi nasi yang diberikan di sebuah piring, dikasih kuah, lalu dipersilakan memilih lauk yang tersedia di rak-rak yang seperti membentuk anak tangga. Banyak pilihan, tapi saya memilih dendeng kering dan rendang tentu saja. Kemudian memilih duduk di meja yang mengarah ke jalan.
Baru beberapa suapan, saya terhenyak. Sungguh, baru kali itu memakan masakan berkuah, rendang, dendeng yang rasanya tak pernah ada bandingannya. Jika boleh dikasih peringkat, itu adalah makanan paling enak yang pernah saya rasakan seumur hidup.
Lagi-lagi campuran bumbu yang kaya, aroma yang kuat, dan semua yang mendefinisikan rasa enak ada di nasi Kapau. Baru kali itu saya makan sambil terharu, bisa-bisanya makanan seenak itu hadir di dunia dan tercipta di kota Bukittinggi.
Benar-benar situasi makan yang mengharukan, saya tidak mengada-ada. Rasanya malu kalau mengingat mata saya sampai berkaca-kaca, bersyukur karena diberi kesempatan merasakan masakan enak langsung dari tempat asalnya.
Sampai mobil travel datang pun, saya minta untuk bertahan menunggu. Menunggu saya menghabiskan surga dunia berbentuk makanan yang seumur-umur belum pernah dirasakan sensasinya. Beberapa rumah makan Padang yang pernah saya coba, memang tak bisa dibandingkan dengan nasi Kapau yang saat itu saya rasakan.
Saya saat itu pun berdoa supaya diberi kesempatan lagi ke Bukittinggi, dan kembali bisa menikmati Nasi Kapau di situ. Syukurnya doa saya terkabul setahun kemudian. Kembali bisa menikmati masakan paling enak yang pernah saya rasakan di Minangkabau.
Duh, jadi ingin ke sana lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H