Entah karena selokan yang dalam di depan sebuah sekolah; di antara rerimbunan pinus di tenggara pusat kota, atau karena hujan yang lebat setelah setengah perjalanan pulang.
Hingga kembali pesan-pesan berulang, padahal waktu sudah menarik diri untuk tidak lagi mengingat janji: bahwa tak ada kata lupa untuk rambut legam yang basah saat tempias hujan di teras pasar tua kala roda becak yang membawamu melamban.
Aroma tanah hangat yang mengepul uap saat ribuan jarum hujan menyentuhnya, tak menghalangi jalan berputar balik, dan sepasang tangan yang masih menetes dingin  awal november bertangkup lalu tiba-tiba hangat menangkup di telapak kananku.
Adakah suar pendar ingatan itu akan terus melambai seperti senja yang tertahan di bukit bintang, tatkala mata indahmu lurus meluruh menyemai ke tebaran lampu yang jauh berkelip di ufuk, sampai gerimis mengantarkan langkahmu di pekarangan sebelum aku berbalik pulang.
Mungkin besok pagi jalanan kembali berkabut dan aspal dingin menghantarkan perca pikiranku yang mengurai untuk kembali kau tertawakan.
Aku juga tak terlalu berharap matahari pagi-pagi mengerjap tak peduli akan desau kisah-kisah di tengah malam, saat desau tak lagi risau, atau aku yang mungkin memang harus serah menyerah kalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H