Mohon tunggu...
R. Syrn
R. Syrn Mohon Tunggu... Lainnya - pesepeda. pembaca buku

tentang hidup, aku, kamu dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menyoal Algoritma dan Ritme di Media Sosial

12 Oktober 2022   15:29 Diperbarui: 12 Oktober 2022   15:35 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Hi-Tech. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

.. menarik sekali melihat obrolan dua orang ahli IT yang membahas tentang media sosial, kebetulan keduanya merupakan ahli di bidang tersebut.  Sebagai moderator adalah pak Dr. Ifik Arifin, Direktur Inixindo yang bergerak dibidang pelatihan dan sertifikasi IT, sedangkan pembicaranya adalah Prof. Merlyna Lim, pakar sosial media sekaligus pengajar dan anggota Canada Research Chair in Digital Media & Global Network Society Carleton University, Ottawa, Canada yang aslinya berasal dari Dayeuhkolot

Walaupun obrolan terkesan santai di channel youtube, tapi isinya mengulas secara cukup detil bagaimana algoritma di media sosial mempengaruhi persepsi orang akan suatu objek tertentu.

Inti terpenting dari pembicaraan yang berlangsung kurang lebih selama satu jam itu adalah, betapa sekarang nyaris tidak ada batasan antara dunia internet dengan dunia nyata.  Beda halnya akan beberapa tahun silam, dimana masih ada batas antara dunia nyata dengan dunia maya. Seringkali sekarang seperti tidak ada jarak antara user di cyberspace, jadi seakan-akan berada sana seakan-akan berinteraksi secara nyata pula.

Algoritma di bidang IT sebenarnya diartikan sebagai langkah-langkah tertentu yang terstruktur atau program yang memproses input data menjadi output yang diinginkan.  Algoritma yang salahsatunya dipengaruhi oleh machine learning, sepertinya bisa memetakan perilaku manusia di dunia internet, dan hal tersebut bisa digunakan oleh pihak yang berkepentingan untuk mengarahkan dan memanipulasi perilaku pengguna media sosial.

Media sosial sendiri dipandang sebagai media digital yang besifat interaktif, memproduksi dan memproduksi (prosumer), melalui platform semacam facebook dan twitter. Media sosial dulu awalnya hadir tanpa algoritma, sampai akhirnya digunakan media sosial menjadi tempat komersial, dan digunakan sebuah brand untuk target pasar mereka.

Konsep desain algoritma yang intinya adalah machine learning dan inputnya adalah perilaku, dan berhubung tidak semua input diperhitungkan sama, konsep tipologi utamanya adalah sorting, yaitu menempatkan elemen dalam urutan tertentu.  Kombinasi kedua hal tersebut dengan kepentingan iklan bertarget tersebut diefisienkan sehingga menjadikan bias dan menyederhanakan pasar, dan membaca siapa saja yang suka dan berguna untuk penjual, dan barang apa sebenarnya yang disukai dan tidak disukai.

Akhirnya algoritma media sosial yang sebenarnya dipergunakan untuk pasar komersial, akhirnya berimbas dipergunakan untuk hal-hal lain semacam politik dan hal-hal lainnya.  Proses pemaknaan media sosial media menjadi bias, karena yang diperdalam adalah yang paling populer, karena diamplifikasi sedemikian rupa sehingga truth pun bisa menjadi tak objektif lagi.

Prof. Merlyna mengistilahkan bagaimana objek yang terus menerus digaungkan itu sebagai tyranny of the loudess, yang menciptakan echo of the chamber, seakan-akan berada di dalam sebuah gua dimana cuma hal itu saja yang terdengar jelas di teling, padahal di luar sana dunia tenang dan sepi saja seperti biasanya.

Pada akhirnya algoritma media sosial dipergunakan untuk memprediksi kebiasaan manusia para pengguna media sosial, dimana salah satunya dijelaskan bahwa konten-konten yang mengeksploitasi emosi dihargai secara algoritmis.

Di kalangan anak muda sekarang, sepertinya lebih mudah memetakan masalah mereka, karena nyaris semua kehidupan mereka dipaparkan di media sosial, walaupun hal tersebut juga seakan-akan menjadi pisau bermata dua, karena apabila mereka melakukan sebuah kesalahan, semuanya akan terekam, jejak rekam mereka akan terekam dan abadi. Sungguh agak mengertikan sebenarnya.  Apalagi hal-hal tersebut bisa menjadi bahan bully dan berdampak langsung di dunia nyata mereka. 

Mereka, para anak muda sekarang juga dianggap sebagai media native, yang sudah terbiasa dengan media sosial sejak kecil tapi tidak memahami tentang literasi sosial, terutama terkait privacy dan jejak digital.  Makanya harusnya pelajaran tentang hal tersebut bagusnya dimasukan dalam kurikulum sekolah, terutama terkait dengan moral dan etika, khususnya digital literacy agar tidak ada misinformasi terkait informasi yang mereka terima dari gempuran media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun