Mohon tunggu...
Rudi Hartono Tarigan
Rudi Hartono Tarigan Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Widyaiswara dengan pendidikan terakhir Magister program studi "Teknologi Pendidikan".

Bekerja sebagai Tenaga Pengajar di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Medan sepsialisasi bidang Teknik Komputer dan Informatika

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PBL, Mengatasi vs Membuat Masalah dalam Belajar?

30 April 2020   13:22 Diperbarui: 30 April 2020   13:21 10610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan 

Problem Based Learning (PBL) merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi, pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Dengan PBL siswa dilatih menyusun sendiri pengetahuannya, mengembangkan keterampilan memecahkan masalah. Selain itu, dengan pemberian masalah autentik, siswa dapat membentuk makna dari bahan pelajaran melalui proses belajar dan menyimpannya dalam ingatan sehingga sewaktuwaktu dapat digunakan lagi. Jadi Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah adalah suatu strategi pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.

Secara umum Ilmu pengetahuan sendiri merupakan  hasil  upaya manusia atas respon terhadap permasalahan – permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari – hari. Istilah “ilmu pengetahuan”   tersebut, umumnya  dalam bentuk formula atau teori yang kemudian di ajarkan di bangku sekolah sebagai mata pelajaran/ kuliah.  Kemunculan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari upaya manusia dalam mempelajari sesuatu, yang oleh Thorndike  menyatakannya dalam teori belajar connectionism  yaitu “belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons”. Dikaitkan dengan pendapat tersebut  dapat dinyatakan bahwa munculnya sebuah ilmu pengetahuan, berawal dari respon terhadap  permasalahan dalam kehidupan manusia itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas dapat terlihat bahwa  pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model  pembelajaran yang mengedepankan penyelesaian masalah yang terjadi di sekitar kehidupan manusia  sebagai materi pembelajaran dalam  konteks mengembangkan kemampuan siswa terkait  berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran, dan mata pelajaran itu sendiri merupakan hasil dari penemuan dalam bentuk formula atau teori. Sehingga seyogianya penggunaan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) seharusnya adalah model pembelajaran yang paling tepat dan umum di gunakan dalam proses pembelajaran di sekolah. Namun kenyataannya di lapangan model PBL sendiri masih jarang digunakan dan cenderung relative dianggap menimbulkan permasalahan dalam proses pembelajaran, khususnya bila dikaitkan dengan pembelajaran yang mengedepankan konsep proses berfikir tingkat tinggi. Dari fenomena tersebut   muncul beberapa  pertanyaan antara lain: 1) Adakah penggunaan model PBL dalam proses pembelajaran di sekolah dapat dilakukan?;  2) Mengapa masih ada proses pembelajaran yang menerapkan PBL mengalami kegagalan mengimplementasi model PBL, walau secara teori tahapan sudah dilakukan?; 3)  mengapa model pembelajaran berbasis masalah yang secara konsep mengedepankan masalah dunia nyata dan pendekatan yang efektif untuk pengajaran berorientasi pada proses berpikir tingkat tinggi malah cenderung menimbulkan masalah?

Pembahasan

Proses pembelajaran untuk mencapai sebuah tujuan pembelajaran, secara umum diyakini bahwa bukanlah perkara mudah. Ada berbagai macam permasalahan yang umum muncul dalam pembelajaran antara lain dapat berasal dari guru, murid, bahkan dari lingkungan.  Persoalan yang dihadapi guru biasanya terkait dengan masalah kemampuan menguasai materi, penggunaan strategi dan metode pembelajaran yang tepat, dan pengengelolaan kelas untuk menciptakan suasana yang nyaman. Sementara disisi siswa persoalan yang dihadapi umumnya terkait rasa malas atau motivasi belajar, sulit dalam memahami atau kurang tertarik dengan materi ajar, kelelahan atau kesehatan tubuh, dan lain-lain.  

Terkait dengan belajar Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar yaitu: (1) law of readiness, belajar akan berhasil apabila inividu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut; (2) law of exercise yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan ulangan; dan (3) law of effect yaitu belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Kemudian menurut Robert M. Gagne (1970) belajar merupakan kegiatan yang kompleks dan hasil belajar berupa kapabilitas, timbulnya kapabilitas disebabkan; (1) stimulus yang berasal dari lingkungan; dan (2) proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar.

Dari pendapat keduanya dapat dinyatakan faktor keberhasilan dalam belajar adanya kesiapan sehingga menimbulkan semangat serta stimulus yang berasal dari lingkungan. Stimulus lingkungan juga dapat diartikan dengan model dan metode pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran. Hal tersebut sesuai dengan pendapat  Mulyani Sumantri (2001:114) metode mengajar merupakan cara-cara yang ditempuh guru untuk menciptakan situasi pengajaran yang benar-benar menyenangkan dan mendukung bagi kelancaran proses belajar dan tercapainya prestasi belajar anak yang memuaskan. Dengan menggunakan model pembelajaran akan terbentuk tahapan dan lingkungan belajar yang tujuannya mendukung siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Dan agar pembelajaran itu lebih bermakna maka harus dikaitkan dengan dunia nyata dan kehidupan sehari-hari. Dari berbagai model pembelajaran yang ada model Problem Base Learning (PBL) adalah model yang paling memungkinkan mengaitkan antara proses pembelajaran dengan dunia nyata dan kehidupan sehari - hari. Problem Based Learning (PBL) mempunyai perbedaan penting dengan pembelajaran penemuan. Pada pembelajaran penemuan didasarkan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan disiplin ilmu dan penyelidikan siswa berlangsung di bawah bimbingan guru terbatas dalam ruang lingkup kelas, sedangkan Problem Based Learning (PBL) dimulai dengan masalah kehidupan nyata yang bermakna dimana siswa mempunyai kesempatan dalam memlilih dan melakukan penyelidikan apapun baik di dalam maupun di luar sekolah sejauh itu diperlukan untuk memecahkan masalah. Dilain sisi prosedur Pelaksanaan Problem Based Learning bermuatan Karakter dalam Pembelajaran (Suyadi, 2015: 134-140).

Problem Based Learning (PBL) didasarkan pada teori psikologi kognitif terutama berlandaskan teori Piaget dan Vigotsky (konstruktivisme). Bahwa peserta didik belajar mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungannya. Problem Based Learning (PBL) dapat membuat siswa belajar melalui upaya penyelesaian masalah dunia nyata (real world problem) secara terstruktur untuk mengkonstruksi penegatahuan peserta didik. Pembelajaran ini menuntut peserta didik untuk aktif melakukan penyelidikan dalam menyelesaikan permasalahan dan pendidik berperan sebagai fasilitator atau pembimbing ( Sani, 2014: 127).

Bila mengacu pada faktor keberhasilan dalam belajar dan Problem Base Learning (PBL) adalah model yang paling memungkinkan mengaitkan antara proses pembelajaran dengan dunia nyata dan kehidupan sehari – hari, maka secara logika sederhana penerapan model PBL dalam proses pembelajaran seharusnya mampu menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan yang muaranya adalah tercapainya tujuan pembelajaran dibuktikan dengan meningkatkan hasil belajar siswa. Namun pada kenyataannya penerapan model pada RPP cenderung dikeluhkan oleh paraguru karena menurut mereka hanya mata pelajaran tertentu yg cocok menerapkan model tersebut. Selain itu juga cenderung menyulitkan siswa dalam mengikuti pembelajaran tersebut, sehingga tujuan awalnya ingin mengatasi masalah belajar siswa terkait hasil belajarnya malah cenderung menimbulkan masalah dalam belajar. Dari kondisi yang ada,  terlihat seakan teori tak sesuai dengan kenyataan  sehingga dapat dipastikan ada sesuatu yang menyebabkan hal tersebut terjadi.

Secara umum ada dua faktor penyebab utama gagalnya penerapan model pembelajaran yaitu: 1) Kemampuan guru dalam memahami dan menerapkan model tersebut dalam pembelajaran; 2) Ketidak sesuaian pemilihan model dengan karakteristik materi. Bila kedua hal tersebut dapat diatasi tentunya penerapan sebuah model pembelajaran khususnya PBL akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk peningkatan hasil belajar siswa.

Sebenarnya apakah PBL itu?.   H.S. Barrows (1982), sebagai pakar PBL menyatakan “ A learning method based on the principle of using problems as a starting point for the acquisition and integration of new knowledge.” (sebuah metode pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan  ilmu  baru).  Sehingga penerapan strategi PBL harus dimulai dari membangun kesadaran kritis peserta didik akan adanya masalah yang harus dipecahkan. Pada tahap ini, guru dapat menunjukkan adanya gap atau kesenjangan antara realitas dengan idealitas atau yang dikehendaki. Secara konsep penerapan PBL terlihat sederhana, namun kenyataannya banyak guru gagal dalam menerapkan model ini, yang salah satu penyebabnya adalah pemahaman dan wawasan guru akan model ini masih relatif kurang. Untuk itu agar meminimalisasi kegagalan dalam penggunaan model ini, maka  guru harus mengenal kelebihan dan kelemahan dari model pembelajaran PBL itu sendiri.

Bila ditilik dari segi keunggulan, PBL (Problem Based Learning) memiliki keunggulan dikarenakan pemecahan masalah :

  • merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran;
  • dapat menantang kemampuan peserta didik, sehingga memberikan keleluasaan untuk menentukan pengetahuan baru bagi peserta didik;
  • dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran peserta didik.
  •  dapat membantu peserta didik bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
  • dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan barunya, dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang dilakukan.
  • Peserta didik mampu memecahkan masalah dengan suasana pembelajaran yang aktif-menyenangkan.
  •  dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka guna beradaptasi dengan pengetahuan baru.
  • dapat memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. 

Sedangkan sisi kelemahan dari PBL antara lain:   

  • Ketika peserta didik tidak memiliki minat tinggi, atau tidak memiliki kepercayaan diri bahwa dirinya mampu menyelasaikan masalah yang dipelajari, maka mereka cenderung enggan untuk mencoba karena takut salah.
  • Tanpa pemahaman “mengapa mereka berusaha” untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari. Artinya, perlu dijelaskan manfaat menyelasaikan masalah yang dibahas pada peserta didik.
  • Proses pelaksanaan PBL membutuhkan waktu yang lebih lama atau panjang. Itu pun belum cukup, karena sering kali peserta didik masih memerlukan waktu tambahan untuk menyelasikan persoalan yang diberikan. Padahal, waktu pelaksanaan PBL harus disesuaikan dengan beban kurikulum yang ada (Suyadi, 2015: 141-143).

Bila kelemahan dari model ini tidak diperhitungkan niscaya penerapannya dapat dipastikan akan gagal, sehingga tujuan pembelajaran pasti tidak tercapai. Dari uraian di atas  kelemahan PBL yang paling utama adalah rasa minat, percaya diri, dan pemahaman siswa didik tersebut, yang kesemuanya itu dapat disebabkan oleh faktor pengetahuan awal siswa yang tidak cukup untuk diikut sertakan dalam pembelajaran tersebut. Sehingga siswa mendapat kesulitan dalam memahami konteks permasalahan dengan baik dengan kata lain kesulitan dalam mencerna permasalahan atau gap yang terjadi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Zakaria dan Yussof (2009) menyatakan pengetahuan awal berperan penting terhadap kemampuan pemecahan masalah.

Berkaitan dengan pengetahuan awal yang cukup, umumnya cenderung kurang diperhatikan oleh guru dalam menerapkan model ini, sehingga hal tersebut akan menimbulkan kebingungan bagi siswa untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan oleh guru. Kondisi tersebut dapat dipastikan berpengaruh pada rasa minat, percaya diri, dan pemahaman siswa didik tersebut yang dampaknya akan berpotensi memunculkan stigma model PBL tersebut mempersulit pembelajaran, sehingga  pada akhirnya merupakan faktor penyebab utama kegagalan dalam mengimplementasikan PBL . Oleh karena itu untuk menjawab fenomena kegagalan para guru  menggunakan PBL dalam pembelajaran, maka hal – hal berikut perlu dilakukan antara lain:

  • Pengetahuan awal  siswa harus cukup, terkait permasalahan yang akan digunakan dalam PBL tersebut.
  • Pemahaman dan kompetensi guru harus telah memadai terkait penggunaan model PBL tersebut.
  • Penggunaan model PBL harus tetap memperhatikan karakteristik materi, apakah cukup sesuai dengan model tersebut.
  • Memastikan waktu yang dibutuhkan harus cukup, sehingga pelaksanaan tahapan atau sintak dapat dilakukan dengan lengkap dan benar.  

Dengan menerapkan ke empat langkah – langkah tersebut, dapat dipastikan kegagalan dalam mengimplementasikan model PBL dalam pembelajaran akan jauh lebih berhasil sesuai dengan tujuan awal pembelajaran tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Barrows, H.S. (1984): a Specific Problem-Based, Self Directed Learning Method Designed to Teach Medical Problem-Solving Skills, and Enhance Knowledge Retention and Recall, Tutorials in Problem-Based Leraning (Eds. H.G. Schm.idt & M.L. De Volder), 16-32.

Hamdani, 2011. Stategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia

Gagne, R. M. 1975. Essentials of Learning for Instructions. Illinois : The Dryen Press.

Sani, Ridwan Abdullah, 2013, Pembelajaran Santifik untuk Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta: Bumi Aksara.

Sumantri, Mulyani dan Johar Permana, Strategi Belajar Mengajar, Bandung: C.V Maulana, 2001

Suyadi, 2015, Srategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. III.

Zakaria, E. & Yussoff, N. (2009). Attitudes and Problem Solving-Solving Skills in Algebra among Malaysian Matriculation College Students. European Journal Of Social Science, 8(2), 232-245.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun