Dalam membangun ibu kota kesultanan itu tidak sembarang. Banyak bangunan bersejarah dan monumental di Kota Yogyakarta yang desain pembangunannya dibuat sedemikian rupa sehingga berada dalam satu garis lurus yang membentuk sebuah sumbu imajiner.
Selain itu, membangun kota dengan konsep Catur Gatra Tunggal yang menyatuhkan elemen pemerintahan, ekonomi, social, dan agama. Di antaranya membangun Kraton Yogyakarta, Pasar Beringharjo, Alun-alun, dan Masjid Gedhe Kauman.
Setelah dibangunnya garis imajiner tersebut, Gunung Merapi menjadi titik paling utara dari garis itu.
Dalam legenda, Pulau Jawa dinilai tidak seimbang seperti sekarang. Kepercayaan masyarakat Jawa pulau itu miring ke sebelah barat. Penyebabnya, di ujung itu terdapat banyak gunung sedangkan ditengah dan timur tidak ada.
Isi buku Lucas Sasongko Triyoga yang berjudul "Manusia Jawa dan Gunung Merapi" ia menyebutkan bahwa untuk menyeimbangkan pulau jawa itulah, Dewa Krincingwesi kemudian memerintahkan untuk memindahkan Gunung Jamurdwipa di barat Pulau Jawa, ke tengah Pulau Jawa, tempat sekarang beridirnya Gunung Merapi.
Namun pemindahan Gunung Jamurdwipa ini mengalami kendali.
Salah satunya lantaran ada dua orang empu sakti yang hidup di tengah Pulau Jawa. Mereka yakni kakak beradik Empu Rama dan Permadi.
Para Dewa yang mendatangi kedua empu ini pun akhirnya mengakui kesaktiannya. Mereka meminta keduanya untuk berpindah karena tempat tersebut akan menjadi tempat ditancapkannya pasak bumi penyeimbang pulau jawa.
Namun kedua empu ini menolak dengan alasan mereka tengah mengerjakan keris yang harus dikerjakan hingga selesai. Jika mereka tidak menyelesaikan, maka akan terjadi kekacauan.
Dewa Krincingwesi mendengar perkataan mereka, ia muka lalu menjatuhkan Gunung Jamurdwipa diatas mereka. Kedua empu ini terkubur dalam keadaan hidup. Roh kedua empu dipercayai menjadi penjaga Gunung Merapi hingga saat ini. Keduanya bahkan menjabat sebagai raja dari semua makhluk halus di Merapi.
Begitulah kisah hubungan Kraton dengan Gunung Merapi, yang kerap dipercaya masyarakat Yogyakarta sebagai asal-usul dari garis imajiner(*)