Saya kembali salah satunya untuk tumpukan bebatuan ini. (rcs)
Jogja jogja.. Tetap istimewa, istimewa negerinya istimewa orangnya..
Penggalan syair lagu Jogja Hip Hop Foundation tersebut mewakili rasa saya terhadap kota Yogyakarta. Tidak ada setetes darah yang mengalir di diri saya yang mengidentifikasikan saya orang Jawa, namun saya rasa karena masyarakat, budaya, dan tradisi yang masih terbilang kental yang membuat saya selalu "kangen" dengan Jogja.
Tugas Negara
Tugas negara selanjutnya yang menerbangkan saya ke daerah istimewa ini. Sekitar tahun 2013 lah terakhir saya berkunjung ke Jogja, biasanya absen saat lebaran, tepatnya di daerah Godean. Jumat (22/4) siang saya mendarat di Bandara Adisucipto, begitu masuk ke gedung bandara langsung disambut dengan penampilan seorang wanita yang sedang membatik. Wah asik banget dalam hati saya, semeringah seketika wajah saya karena ya itu tadi, saya terlalu kangen kembali ke kota "Gudeg" ini.
Udara di sekitar agak menyengat, entah karena di bandara atau memang Jogja sedang panas banget ya saat itu. Tidak lama sudah ada driver yang menjemput saya dan teman-teman, namanya Mas Wawan.Â
"Monggoh mas tunggu sebentar saya ambil mobilnya.."
Hal pertama yang kita sampaikan ke Mas Wawan adalah; "Mas, kita makan dulu mas, apa yang enak yang ga terlalu jauh dari bandara ini?". Akhirnya kami mampir di sebuah warung makan soto di sebrang Jogja Expo Center (JEC), satu porsi soto daging dengan kuah bening (padahal saya lebih suka yang santan) dengan sepiring nasi putih dan satu tusuk sate telur puyuh, hap! saya santap tanpa ada rasa belas kasihan. Rasanya sih terbilang ya biasa saja, cuma apa mau dikata, lapeeerrr...
Kompasiana Nangkring bareng Lembaga Pinjaman Simpanan (LPS)
Saya bukan anak ekonomi, keuangan, akuntansi, melainkan komunikasi. Lhaa tapi tidak ada salahnya tahu tentang keuangan dan perbankan toh? Acara diadakan di Hotel Grand Aston Yogyakarta, sebelum dimulai saya bertemu dengan teman-teman Kompasianer Yogyakarta, rasanya seneng bisa bertemu teman-teman baru. Apalagi saat itu hadir juga junior-junior saya (berasa tua gue) dari PERHUMAS Muda Yogyakarta, mereka sebagai calon praktisi humas ingin tahu juga seperti apa sih peran LPS dalam pengelolaan keuangan masyarakat.
Simpelnya, LPS mencoba untuk mensosialisasikan dan mengedukasi tentunya kepada masyarakat untuk menyimpan dan mengelola uang melalui bank. Karena seperti yang kita tahu, orang dulu kebiasaannya adalah menyimpan uang di bawah bantal, atau di dalam kotak penyimpanan. Tentunya hal tersebut memiliki resiko yang lebih tinggi dibanding kita menyimpan uang di bank.
Berikut kutipan materi LPS yang dibawakan oleh Bapak Arinto Wicaksono selaku Kepala Divisi Kepatuhan II .
Acara ditutup dengan pengumuman pemenang live tweet competition dan pemenang kuis saat nangkring. So unbelievable, peserta yang hadir tidak sampai 90 bahkan, tapi saat itu acara nangkring Kompasiana bisa menggebrak dunia media sosial Twitter dengan posisi trending topic nomor satu!
Saya DICULIK!
Seusai acara, alhamdulillah perut kenyang, pengetahuan bertambah, relasi pun demikian. Saatnya kembali menjelajahi kota Yogyakarta. Namun seketika, teman-teman PERHUMAS Muda "menculik" saya!!!
Ya, pastinya bukan diculik dalam arti yang negatif, tapi kebiasaan muda-mudi anggota organisasi non-profit PERHUMAS Muda cabang Yogyakarta ini adalah ketika ada salah satu anggota Badan Pengurus Pusat (BPP) PERHUMAS sedang berkunjung ke Jogja pasti akan "diculik" untuk sekedar sharing santai seputar dunia public relations. Untuk informasi apa itu PERHUMAS dan PERHUMAS Muda bisa dikulik disini, ketidakpuasan saya dalam menggali ilmu kehumasan membuat saya aktif di organisasi profesi ini dimana saya diberi amanah sebagai bagian dari divisi pengembangan PERHUMAS Muda.
Akhirnya saya dan teman-teman PM Yogja tiba di sebuah cafe yang cukup cozy karena sering dijadikan tempat muda-mudi setempat untuk nongkrong, Dixie Easy Dining. Meja panjang sudah dipesan rupanya oleh teman-teman PMY, kami pesan minuman saja karena kita semua sudah cukup kenyang saat makan siang di tempat acara nangkring sebelumnya.
Kami mulai ngobrol seputar industri PR saat ini, lebih tepatnya mereka ingin mendengar apa saja yang saya lakukan untuk perusahaan saat ini sebagai seorang PR, saya jelaskan secara praktik begini begitu, harus ini harus itu, jangan lakukan ini jangan lakukan itu, ya memang begini kenyataannya walaupun teorinya begitu. Perbincangan sangat asyik karena kami layaknya diskusi, pertanyaan pun tidak jarang terlempar dari mereka.Â
Sampai-sampai ada satu anggota PMY yang bertanya "Kak! Ini ada temen saya nge-line, dia nitip pertanyaan sama kakak, dulu waktu kakak jadi PR di tv xxxx kan pernah kena kasus tuh salah satu programnya, terus gimana tuh kak step by stepnya buat handle krisisnya?"
Saya kagum, tapi bukan dengan pertanyaannya karena memang pertanyaan itu mungkin sudah saya kemukakan hampir lebih dari seribu kali rasanya. Tapi jiwa militan teman-teman muda ini yang mau belajar sangat terlihat dan terasa (niat banget sampe nge-line nitip pertanyaan pikir saya), dari raut wajah mereka, dari pertanyaan-pertanyaan mereka, dari usaha mereka pastinya sudah semakin membuat saya kagum dengan muda-mudi kota pelajar itu. Saya senang, jujur saya semakin bersemangat berbagi dengan adik-adik ini.
Alhamdulillah... perut kenyang, hati tenang. Pukul masih menunjukkan belum terlalu larut malam. Kami mengarah ke Jalan Malioboro, tempat yang sudah tidak asing lagi terdengar pastinya untuk kebanyakan wisatawan. Ternyata dari terkahir 2 tahun lalu saya ke Jl. Malioboro sudah ada beberapa perubahan dan rasanya semakin ramai, atau karena malam minggu? Ah tak apa, makin asik kok.
Saya dan teman-teman menyusuri pinggiran Jl. Malioboro, ada yang jualan, banyak juga street performance. Sayang handphone saya sudah kehabisan baterai. Tapi saya berhasil mendokumentasikan gedung yang menarik di ujung Malioboro, katanya disitu merupakan titik nol, saya baru tahu.
Setelah menyusuri Jl. Malioboro, tidak jauh kami mampir ke angkringan, namanya agkringan "Brother Food. Lumayan nyicipin susu jahe panas pas sekali rasanya dengan suasana Jogja di malam hari. Masih ingin berkeliling rasanya, pasalnya malam itu adalah malam terakhir saya di Jogja. Akhirnya saya, teman, dan temannya teman saya berpindah tempat ke alun-alun yang terkenal itu.
Wow! Rame banget! Ya, malam minggu itu rasanya adil untuk Malioboro dan Alun-alun Kidul, sama-sama dikunjungi banyak orang. Hal pertama yang nampak adalah banyak sepeda-sepeda berbentuk mobil dengan balutan lampu berwarna-warni yang menarik, selain itu ada dua pohon Beringin besar yang bersejarah dimana konon katanya apabila kita berhasil melewati dua pohon Beringin itu dengan mata tertutup maka segala permintaan kita akan terkabul, apa iya betul? Entahlah..
Kami kurang tertarik mencoba melewati dua pohon Beringin itu, lebih menarik melihat orang-orang sibuk mengowes sepeda yang berbentuk mobil dengan full set audio system di dalamnya. Jedag jedug jedag jedug!.
kami pun tertarik untuk mencobanya, dengan harga sewa sebesar 60 ribu rupiah untuk satu kali putaran. Tergantung ukuran mobilnya atau apalah sebutan sepeda modifikasi itu, ada yang 50 ribu sampai 70 ribuan rupiah. Lebih murah kalau di malam hari biasa bukan malam minggu kata teman saya tinggal di Jogja.
Mampir ke candi sebelum kembali ke Jakarta
Minggu pagi kami bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta, belum puas rasanya menjelajahi kota Jogja, malahan buat saya yang terbilang sudah sering kesan, tapi apa daya pesawat kami sudah siap mengantar pada pukul 16.00 WIB. Sebelum ke bandara, kami sempatkan untuk melihat Candi Plaosan yang letaknya tidak begitu jauh dari bandara Adisucipto.
Sampai di lokasi Candi Plaosan, saya terkagum dengan tumpukan-tumpukan batu tersebut. Ya maklum saja, terakhir saya menginjakkan kaki di candi adalah Candi Borobudur sekitar 4 tahun lalu. Memang secara ukuran tidak sebesar Candi Borobudur, tapi ternyata candi ini kembar, ada yang terletak di selatan dan utara dengan jarak yang tidak begitu berjauhan.
Saya mengunjungi salah satunya, karena berhubung saat itu tengah siang bolong hari Minggu jadi tidak terlalu raai, saya pikir ini saat yang tepat untuk berfoto-foto, namun sayang tidak ada tour guide setempat yang bisa menjelaskan sejarah dan detail candi tersebut. Saya tidak bisa mendeskripsikan banyak secara tulisan sejarah tentang Candi Plaosan disini, intinya adalah saya semakin cinta Indonesia dengan beragam kekayaan budaya dan situs sejarahnya.
Sudah cukup rasanya berfoto-foto dan menikmati pemandangan bersejarah ini, waktunya untuk pulang, waktunya untuk mengabadikan momen-momen yang mungkin kecil saat ini tapi berarti besar untuk anak cucu saya nanti.
Saya memang bukan traveler sejati, tetapi saya ingin selalu menjelajahi segala apa yang ada di Indonesia dengan milyaran keunikan serta keindahannya. Semoga bukan hanya saya sendiri yang memiliki rasa untuk melestarikan dan bangga akan Indonesia. Wonderful Indonesia...
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H