Sampai-sampai ada satu anggota PMY yang bertanya "Kak! Ini ada temen saya nge-line, dia nitip pertanyaan sama kakak, dulu waktu kakak jadi PR di tv xxxx kan pernah kena kasus tuh salah satu programnya, terus gimana tuh kak step by stepnya buat handle krisisnya?"
Saya kagum, tapi bukan dengan pertanyaannya karena memang pertanyaan itu mungkin sudah saya kemukakan hampir lebih dari seribu kali rasanya. Tapi jiwa militan teman-teman muda ini yang mau belajar sangat terlihat dan terasa (niat banget sampe nge-line nitip pertanyaan pikir saya), dari raut wajah mereka, dari pertanyaan-pertanyaan mereka, dari usaha mereka pastinya sudah semakin membuat saya kagum dengan muda-mudi kota pelajar itu. Saya senang, jujur saya semakin bersemangat berbagi dengan adik-adik ini.
Alhamdulillah... perut kenyang, hati tenang. Pukul masih menunjukkan belum terlalu larut malam. Kami mengarah ke Jalan Malioboro, tempat yang sudah tidak asing lagi terdengar pastinya untuk kebanyakan wisatawan. Ternyata dari terkahir 2 tahun lalu saya ke Jl. Malioboro sudah ada beberapa perubahan dan rasanya semakin ramai, atau karena malam minggu? Ah tak apa, makin asik kok.
Saya dan teman-teman menyusuri pinggiran Jl. Malioboro, ada yang jualan, banyak juga street performance. Sayang handphone saya sudah kehabisan baterai. Tapi saya berhasil mendokumentasikan gedung yang menarik di ujung Malioboro, katanya disitu merupakan titik nol, saya baru tahu.
Setelah menyusuri Jl. Malioboro, tidak jauh kami mampir ke angkringan, namanya agkringan "Brother Food. Lumayan nyicipin susu jahe panas pas sekali rasanya dengan suasana Jogja di malam hari. Masih ingin berkeliling rasanya, pasalnya malam itu adalah malam terakhir saya di Jogja. Akhirnya saya, teman, dan temannya teman saya berpindah tempat ke alun-alun yang terkenal itu.
Wow! Rame banget! Ya, malam minggu itu rasanya adil untuk Malioboro dan Alun-alun Kidul, sama-sama dikunjungi banyak orang. Hal pertama yang nampak adalah banyak sepeda-sepeda berbentuk mobil dengan balutan lampu berwarna-warni yang menarik, selain itu ada dua pohon Beringin besar yang bersejarah dimana konon katanya apabila kita berhasil melewati dua pohon Beringin itu dengan mata tertutup maka segala permintaan kita akan terkabul, apa iya betul? Entahlah..
Kami kurang tertarik mencoba melewati dua pohon Beringin itu, lebih menarik melihat orang-orang sibuk mengowes sepeda yang berbentuk mobil dengan full set audio system di dalamnya. Jedag jedug jedag jedug!.
kami pun tertarik untuk mencobanya, dengan harga sewa sebesar 60 ribu rupiah untuk satu kali putaran. Tergantung ukuran mobilnya atau apalah sebutan sepeda modifikasi itu, ada yang 50 ribu sampai 70 ribuan rupiah. Lebih murah kalau di malam hari biasa bukan malam minggu kata teman saya tinggal di Jogja.