Mohon tunggu...
Rizky C. Saragih
Rizky C. Saragih Mohon Tunggu... Administrasi - Public Relations

Lihat, Pikir, Tulis. Communications Enthusiast | @rizkycsaragih

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hampir Saja, Pulang Nama

10 Maret 2016   20:58 Diperbarui: 1 Juni 2016   12:17 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Sumber: kapal-penumpang-pelni.blogspot.co.id / Ilustrasi"][/caption]SEORANG jurnalis, penuh suka dan duka, ketika meliput berita, tak jarang menghadapi berbagai rintangan, seperti “onak dan duri”, penuh resiko, bahkan, nyawa sekalipun jadi taruhannya, kendati demikian, tetap berjuang keras, berupaya dengan segala cara, agar dapat memperoleh berita yang enak dibaca dan perlu.

Ketika itu, saya bersama teman, ditugaskan oleh pimpinan redaksi sebuah majalah intern BUMN, untuk meliput sebuah objek wisata di kepulauan Nias. Kami dari Jakarta berangkat dengan kapal laut PELNI

Dari pelabuhan Tanjung Priok kapal berlayar dengan tenang, “melenggang, berayun-ayun”, kita pun terkantuk-kantuk, berselonjor di kasur empuk di ruang Kelas I, wah… weunak tenan, layaknya seperti berada di ruang hotel berbintang, dan rasanya hilanglah rasa lelah, capek, bayangkan… tadinya sebelum kapal bertolak, dengan cuaca terik matahari yang panas menyengat, kami menunggu kapal yang sedang bongkar-muat, cukup menyita waktu berjam-jam lamanya, yaa… menjemukan juga.

Beberapa jam kapal berlayar, melalui pengeras suara, penumpang diundang untuk makan siang di tempat ruangan yang telah dipersiapkan. Ruang makan Kelas I dan pelayanannya, berbeda dengan beberapa kelas lainnya, ya pantas-pantas saja dan wajarlah, tentunya ini disesuaikan dengan harga tiket. 

Kapal melaju dengan cepat, beberapa jam kemudian kapal pun tiba di pelabuhan Sibolga dan sandar untuk bongkar-muat. Kami pun turun ke darat, melemaskan otot-otot yang pegal, sambil menikmati kopi hangat penghilang kantuk dengan kue khas spesifik penduduk setempat.

Kapal bertolak kembali menuju pelabuhan terakhir, armada PELNI yang cukup modern ini pun telah mengapung-apung di tengah-tengah lautan samudra lepas, tidak lagi kelihatan kapal-kapal kecil, tongkang-tongkang nelayan pencari ikan dan bangunan-bangunan pencakar langit yang ada di sekitar pelabuhan Sibolga pun, sirna dari pandangan mata. 

Tiba-tiba saja kapal bergoyang, ber-ayun-ayun, dan goyangannya pun semakin keras, saya pusing, mabuk…, untung saja gak keluar yang “ijo-ijo” dari perut, hehehe…, teman sekamar saya, dia tenang-tenang saja, gak mabuk dan dia rupanya telah meminum obat anti mabuk, serta-merta saya pun turut meminumnya, Alhamdulillah, kemudian berangsur-angsur reda, dan kami pun beranjak ke anjungan kapal, menikmati indahnya lautan yang maha luas ciptaan Allah, subhanallah…, terlihat pula ikan lumba-lumba yang lucu-lucu, berenang-renang, balapan dengan lajunya kapal.

Beberapa jam berlayar, kapal pun berlabuh dan sandar di pelabuhan Gunung Sitoli, kami dijemput oleh Kepala Cabang, kemudian diantar menuju ke hotel untuk tempat kami beristirahat, dan sejenak kami bertiga berkoordinasi dahulu sebelum pak kepala cabang pamit, guna mempersiapkan segala sesuatunya, untuk keberangkatan besok harinya, peliputan berita wisata di Teluk Dalam. Ada makan, ada minum, baik saat di kapal, ataupun makanan khas yang dijamu oleh bapak-bapak kepala cabang Sibolga dan Nias.

 Wah… ada tanda-tanda mau buang hajat, buru-buru ke toilet, buka kran dulu, setetes air pun gak mengalir, untung saja “bom” belum diledakkan, kalo gak berabe. Berbarengan saat itu, room boy menghampiri, dia mahfum apa yang terjadi, “pak, di hotel ini air PAM pake jam-jaman keluarnya, ntar setengah jam lagi yaa, baru ngocor”, katanya sambil berlalu, dari dialek bahasanya, sepertinya dia bukan orang daerah setempat. Untunglah “bom” yang akan diledakkan bisa di “amankan”, tapi akibatnya, keringat sebesar butiran kacang ijo, mengalir, menetes, menahan hajat besar yang tertunda.

Esok harinya kami berangkat dengan guide-nya bapak Kepala Cabang PELNI Gunung Sitoli, asli daerah setempat, dengan mengendarai mobil dinas, kami berangkat dengan supir, naluri seorang jurnalis mulai bekerja, mengamati jalan yang dilalui, berbatu dan berlobang, kurang nyaman di atas kendaraan, tentunya. 

Di sepanjang jalan, di halaman rumah–rumah penduduk, banyak digelar tikar untuk menjemur daun nilam untuk diolah dijadikan minyak. Rumah-rumah mereka, gak permanen-permanen banget, sederhana, tapi… antene parabola menjulang, bertebaran di wuwungan atap rumah mereka, saya berdecak, waaah…! Rupanya pak kepala cabang bisa membaca pikiran saya, “yaa, itu hasil dari kebun nilam mereka, yang harga jualnya lumayan mahal”, ujar pak kepala cabang.

Hampir satu jam kami berada di atas mobil, dari kejauhan, ada terlihat jembatan yang rusak, berantakan, banyak lobang menganga, jembatannya pun hanya terbuat dari batang-batang pohon kelapa yang dibelah/dipipihkan dan dengan papan-papan, kondisinya pun sudah banyak yang lapuk.

Kendaraan berhenti, beberapa anak muda yang ada di lokasi itu pun menawarkan jasanya untuk membantu membetulkan, agar nantinya dilalui mobil tidak terperosok, curiga tentunya, sepertinya disengaja, wah… ngobyek yang gak sehat, tapi apa mau dikata, ya siap-siaplah merogoh kocek. 

Mobil melaju kembali, tidak bisa kencang, jalan gak mulus kayak jalan tol Jagorawi, hehehe… kemudian, di depan ketemu lagi jembatan yang juga rusak, tapi tidak separah yang pertama kami lalui, cuma ada lobang segede ukuran badan manusia, “penawar jasa” gak ada dan saya berinisiatif untuk turun memandu jalannya mobil. Layaknya seorang tukang parkir, saya memandu, terus… terus… kanan… kiri, yaak maju – jalan…, itulah aba-aba saya, sambil kaki mundur ke belakang dan mundur lagi. 

Tak ayal, sangkin konsentrasinya jadi tukang parkir gratisan, saya gak ingat lagi, bahwa di belakang saya ada lobang, gedabruggg… saya terpleset, saya terjatuh, dengan reflek kedua sikut tangan mengembang, seperti kepakan sayap burung bangau, menahan tubuh saya yang sudah sedada di dalam lobang, agar tidak meluncur ke bawah, untung kamera gak jatuh dari bahu saya.

 Berlompatanlah pak ketua cabang dengan teman saya, saya pun buru-buru diangkat, muka pucat, saya menangis, beristighfar, mengucap Allahu Akbar, sang pencipta masih menolong saya, kalo jatuh ke bawah yang tingginya sekitar ke dalaman 50 meter dan telah dinanti oleh sungai kecil yang berbatu-batu besar, tamatlah riwayat si anak Medan ini.

 Kami tidak langsung meneruskan perjalanan menuju tempat tujuan, pak kepala cabang mengajak untuk istirahat sejenak, karena dilihatnya saya masih shok dan muka masih pucat, badan limbung, kemudian menawarkan untuk minum dan makan bersama, meskipun belum saatnya untuk makan siang. Setelah kelihatannya saya sudah agak tenang, pak kepala cabang pun memberi aba-aba pada pak supir untuk melanjutkan perjalanan kembali.  

Tiba di lokasi Teluk Dalam, kami langsung berkoordinasi dahulu dengan pengelola obyek wisata setempat dan pengawas pantai. Memang indah nian, nyiur melambai, burung-burung walet berterbangan, menghias langit biru, pasir pantai nan putih bersih, mengilau di terpa sang mentari, gelombang laut dan ombak yang bersahabat, dan tentunya pasti aman untuk berselancar, waaah… tak dapatlah dilukiskan dengan seribu kata. 

Pantaslah… banyak mengundang minat turis-turis domestic dan mancanegara, lihat saja, terlihat beberapa orang turis bule berselancar, berjemur, kami tertarik untuk mewawancarainya, umumnya mereka sedikit telah mampu berbahasa Indonesia, dengan di selang-selingi, dengan bahasa kampungnya dewek.

Hasil liputan dirasa cukup, kami pun pulang kembali ke kota Gunung Sitoli dan menginap lagi untuk satu malam, dan paginya baru pulang dengan menggunakan kapal ferry menuju pelabuhan Sibolga. Secara estafet, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan bis umum eksekutif, tidak kami sia-siakan, lama hidup banyak dirasa - banyak berjalan, banyak dilihat, sungguhlah indah panorama Indonesia ini, saya bergumam.

 Kembali ke kantor, saya disalami Pimpinan Redaksi dan kawan-kawan, ngasi ucapan selamat, rupanya pak Kepala Cabang Gunung Sitoli telah menelpon Pimpinan Redaksi, dengan candanya, “wah… hampir saja saya mencarter pesawat”, … entah apa maksudnya, hehehe… Kisah nyata ini benar-benar terjadi (saat terpeleset, dan akan terjatuh), “peristiwa yang tak manis ini”, merupakan kenangan hidup saya seumur-umur, untuk jadi sebuah renungan, pasti ada hikmah di balik kesemuanya itu. Dan saya pun tidak menceritakan kepada keluarga, takut repot mengadakan selamatan, bisa heboh sekampung.***

 

*sebuah kisah nyata dari kakak tertua ayahanda saya, Chudry Saragih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun