[caption id="attachment_345463" align="aligncenter" width="538" caption="Kawasan Mangrove di Pulau Tanakeke (dok.pri)"][/caption]
Bagaimana masyarakat di Kepulauan Tanakeke melestarikan mangrove patut menjadi pelajaran bagi kita semua. Masyarakat di pulau ini sangat sadar, ketika melestarikan mangrove, dampak baik akan dirasakan oleh mereka sendiri. Upaya pelestarian ini dimulai dengan membuat sebuah peraturan desa (perdes) tentang mangrove.
Perdes konservasi mangrove di Kepulauan Tanakeke lahir karena kekhawatiran masyarakat dan pemerintahan desa terhadap kondisi mangrove yang sudah menghawatirkan. Kekhawatiran masyarakat didukung oleh hasil penelitian mitra Oxfam dalam program Restoring Coastal Livelihood (RCL), yaitu Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan Mangrove Action Project (MAP) yang menunjukkan bahwa laju kerusakan mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhannya. Hasil penelitian ini semakin mendorong masyarakat untuk menjaga kelestarian mangrove di Kepulauan Tanakeke.
Di Pulau Tanakeke sebagian besar tanaman mangrove sudah ada pemiliknya. Di awal lahan mangrove ini dulunya ada yang ditanami warga kemudian diklaim sebagai lahan miliknya, dan ada juga mangrove yang tumbuh secara alami. Jadi kepemilikan lahan mangrove sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Kepemilikan ini seperti sebuah kesepakatan tidak tertulis, tetapi diakui oleh seluruh masyarakat.
[caption id="attachment_345469" align="aligncenter" width="501" caption="Mangrove/bakau yang sudah ditebang, yang akan dijadikan arang (dok.pri)"]
Bagi masyarakat di Pulau Tanakeke mangrove menjadi aset keluarga. Nilai jual mangrove yang tinggi inilah yang kemudian membuat masyarakat tergiur untuk menebang semua pohon mangrove yang biasanya diproduksi menjadi arang. Untuk memproduksi arang ini, biasanya pohon mangrove yang luasnya berhektar-hektar ditebang, dipotong, kemudian dibakar menjadi arang. Karena menjadi aset keluarga inilah, maka mangrove ini berpotensi suatu hari akan ditebang ketika pemilik lahan memerlukan dana yang besar.
Satu-satunya kawasan mangrove yang tidak diklaim oleh masyarakat di Pulau Tanakeke adalah Bangko Tappampang dengan luas 55,5ha. “Bangko Tappampang” yang berarti bakau melintang ini memang mempunyai posisi melintang di antara dua desa di Pulau Tanakeke yaitu Desa Tompotana dan Desa Rewataya. Sedangkan tiga desa lainnya (Desa Balandatu, Desa Macini Baji, dan Desa Mattirohbaji) di kepulauan ini tidak bersinggungan langsung dengan Bangko Tappampang.
[caption id="attachment_345475" align="aligncenter" width="560" caption="Peta kawasan konservasi mangrove "]
Melihat kondisi mangrove yang sudah menurun dan perilaku masyarakat yang banyak menebang lahan mangrovenya, faktor inilah yang mendorong masyarakat dan forum pemerintah Desa Kepulauan Tanakeke untuk membangun sebuah kesepahaman bersama mengenai pelestarian dan pengelolaan mangrove. Kesepahaman bersama ini mewujud dalam bentuk peraturan desa (perdes) yang melibatkan masyarakat dari 5 desa di kepulauan Tanakeke.
Proses pembuatan perdes mangrove ini dimulai dari tahun 2013, cukup memakan waktu lama mengingat proses membangun kesepahaman bersama ini melibatkan warga dari lima desa. Oxfam, YKL, dan MAP yang tergabung dalam program RCL mendampingi masyarakat tentang bagaimana proses pembuatan perdes. Kemudian mengenai hal-hal teknis dalam konservasi mangrove seperti berbagai cara rehabilitasi mangrove, dan mempelajari alur hidrologi kawasan mangrove.
Mangrove mempunyai peranan penting bagi daerah-daerah pesisir, yaitu sebagai penahan abrasi dan angin, juga menjadi tempat perkembangbiaan beberapa habitat ikan dan hasil laut lainnya yang tentunya bermanfaat menunjang kehidupan masyarakat pesisir. Perdes ini kemudian mengatur agar tidak terjadi penebangan mangrove secara liar dan sewenang-wenang yang dilakukan warga, serta mengedukasi masyarakat agar lebih memahami tentang pentingnya pelestarian mangrove.