Sebelum Pandemi Covid -- 19 menyebar, lapangan pekerjaan di Indonesia tidak mudah untuk dicari dan didapatkan. Karena penduduk di Indonesia lebih banyak daripada lapangan pekerjaan yang tersedia. Di pandemi Covid -- 19 banyak masyarakat yang terkena dampak, salah satunya Putusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan bersangkutan. Hal ini disebabkan, perusahaan wajib mengurangi karyawannya untuk menstabilkan neraca keuangan perusahaan.
Pada zaman sekarang, mayoritas masyarakat memiliki mobilitas yang sangat tinggi. Sebab sebagian besar masyarakat yang melihat sebuah celah keuntungan dari mobilitas yang dimiliki. Mereka berfikir bahwa untuk mencari pekerjaan yang pendapatan nya jauh lebih tinggi daripada di dalam negeri adalah opsi dan kesempatan terakhir yang mereka bisa lakukan untuk mencari rupiah. Pada akhirnya masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan memutuskan untuk berangkat ke luar negeri menyandang sebagai pekerja migran. Pendapatan yang besar adalah salah satu alasan mengapa mereka pergi atau memutuskan untuk menjadi pekerja Migran Indonesia. Terlepas dari mereka menjadi migran secara resmi ataupun non -- resmi.
Pekerja migran yang resmi atau legal ialah mereka yang mengikuti prosedur tentang menjadi pekerja luar negeri. Mereka memenuhi persyaratan -- persyaratan yang ada dan mentaati peraturan yang berlaku. Sedangkan, pekerja migran non - resmi atau ilegal ; mereka yang datang ke negara tujuan secara bersembunyi tanpa dilengkapi dokumen yang disyarkat secara resmi.Â
Mereka biasanya menggunakan jaringan perekrutan melalui hubungan saudara, pertemanan dan calo. Mereka juga biasanya menyalahi aturan visa bebas tinggal sehingga mereka bisa tinggal di negara tujuan dengan jangka waktu yang panjang. Namun, karena kurangnya edukasi dan biaya pengurusan dokumen yang sanagat mahal. Maka sebab itu banyak dari mereka yang pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan dan bekerja disana menjadi migran ilegal. Karena mereka ingin menekan biaya modal.
Kondisi seperti ini ibarat dua sisi mata pisau. Karena pekerja migran ilegal ingin menghemat biaya akomodasi awal agar tidak menggolontarkan uang yang banyak untuk mengurus dokumen -- dokumen yang diperlukan. Karena itu mereka bisa menekan biaya modal untuk bekerja sebagai migran ilegal. Namun, dampak yang mereka rasakan nantinya sebagai pekerja migran ilegal ; akan menjadi buronan petugas ke imigrasian negara tempat dimana mereka bekerja. Hidup mereka tidak akan tenang karena mereka migran ilegal yang tidak memiliki izin untuk bekerja. Selanjutnya ketika mereka melakukan kesalahan atau mengalami kasus hukum, mereka akan susah untuk mendapatkan bantuan hukum. Karena negara sulit untuk mengetahui siapa yang akan ia lindungi jika identitas mereka ilegal/ tidak diketahui.
Namun, kurangnya edukasi dan rumitnya pembuatan dokumen menjadi PR tersendiri bagi pemerintah untuk menekan pekerja migran ilegal. Menurut Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat ada 9 juta pekerja migran asal Indonesia yang bekerja di luar negeri. Dari jumlah itu, sekitar 5,3 juta orang merupakan pekerja migran berangkat secara ilegal atau melalui sindikat pengiriman tenaga kerja gelap.. Sebagian besar diantara mereka adalah perempuan (sekitar 70 %) dan bekerja di sektor domestik (sebagai PRT) dan manufaktur. Dari sisi usia, sebagian besar mereka berada pada usia produktif (diatas 18 tahun sampai 35 tahun), namun ditengarai banyak juga mereka yang sebenarnya berada pada usia anak-anak. Kenyataan ini terjadi karena mereka banyak yang dipalsukan identitas dokumen perjalanannya. Selebihnya, sekitar 30 % adalah laki-laki, bekerja sebagai buruh perkebunan, konstruksi, transportasi dan jasa. [1]
 Data tersebut menunjukkan bahwasannya Buruh Migran Indonesia sangatlah banyak yang ilegal. Dan dari data tersebut juga membuktikan akan ada banyak persoalan ancaman human security yang dapat terjadi seperti perdagangan manusia, eksploitasi pekerja, dan sebagainya.
 Tentunya sudah banyak sekali kasus yang terjadi terkait kekerasan yang didapat oleh pekerja migran. Seperti diskriminasi dan kekerasan fisik adalah salah dua contoh dari ancaman human security. Dikutip dari Metrotvnews.com, Pada 2019, tercatat ada 5.108 kasus yang menjerat pekerja migran Indonesia (PMI). Di mana 33,8 persen kasus di antaranya belum selesai hingga kini. Jenis kasus yang terjadi seperti kekerasan fisik dan pekerja non prosedural.
 Jauh sebelum tahun 2019, tepatnya pada tahun 2002 dimana saat itu TKI Ilegal asal Indonesia yang berjumlah 450.000 diperlakukan seperti budak. Bagaimana tidak ? setelah mendeportasi pekerja Migran ilegal tersebut pemerintah Malaysia menelantarkan mereka di pelabuhan Nunukan di Kalimantan Timur. Dari 450.000 orang 78 diantaranya meninggal dunia dan 700 orang ditahan di camp penampungan serta 23 lainnya mendapatkan hukuman cambuk. Pada saat proses razia, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Polisi Malaysia terhadap TKI Ilegal pun tak bisa dihindarkan. Belum lagi, ada banyak oknum yang memanfaatkan situasi ketidakjelasan mereka di pelabuhan Nunukan dengan cara memperjual belikan tiket kepulangan mereka, yang seharusnya tiket tersebut berlaku secara gratis untuk mereka.[2]
 Dari kasus dan data tersebut menunjukkan bahwa sektor pekerja migran ilegal rentan akan persoalan human security. Tingkat pendidikan yang rendah, minimnya pengetahuan, dan kualitas SDM yang rendah membuat para pekerja terancam tindakan eksploitasi dan diabaikannya hak - hak mereka sebagai tenaga kerja. Pemerintah Indonesia selaku yang memiliki kewajiban untuk melindungi para rakyatnya yang bekerja di luar negeri sudah seharusnya mengambil peran yang besar terhadap perlindungan pekerja migran ilegal maupun legal.
 Pemerintah telah menerbitkan undang-undang No.39 tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri dirasa masih kurang. Dikarenakan pekerja migran legal maupun non legal masih mengalami tindak kekerasan yang sangat tinggi dan penyelesaian atas tindak kekerasan tersebut belum sepenuhnya bisa di selesaikan secara tuntas oleh pemerintah ataupun penindak hukum setempat.