Mohon tunggu...
Raziq Hasan
Raziq Hasan Mohon Tunggu... profesional -

Arsitek, Sumenep,Madura.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kampung Baduy, Suku Tertinggal? Benarkah?

13 Desember 2014   15:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:23 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sejenak memasuki kampung suku Baduy, Kanekes Banten. Setelah empat jam membiarkan kaki berkelahi dengan keletihan. Sejuk dan aura ketenteraman segera terasa. Hijau daun mengatapi langit terik. Nyanyian alam meluruhkan pekak telinga yang mengerak didesak deru kendaraan dari Jakarta. Jalan setapak meliuk mengitari bukit yang makin menanjak. Di tepinya rumput dan semak liar membentuk garis-garis alami menandai arah jalan bagai lukisan dari langit. Di pinggir sana, bening sungai deras bersama ikan-ikan yang bebas di balik batu-batu berlumut. Harum cemara silih berganti bersama sirih hutan mengurai oksigen mengisi penuh rongga dada.

Di ujung jalan ketika jalan menanjak sudah usai. Tampak serumpun rumah-rumah panggung hampir tak terbedakan. Satu sama lain berjejer berhadapan teratur membentuk satuan-satuan ruang terbuka. Satu konsep cluster yang lahir tidak dari rahim akademik. Tetapi dari keniscayaan naluri dan habitus (vernaculus) yang kelak justru diadopsi oleh para teoritikus dan praktisi dengan jumawa. Dinding-dinding bangunan berbingkai anyaman bambu. Teksturnya tidak saja memamerkan keindahan seni visual ekspresi kesederhanaan dan keuletan. Juga seni fungsional yang akurat dengan membiarkan bias benderang langit dan semilir angin semerbak berebut memasuki sela anyamannya. Ruang dalam dengan sendirinya memperoleh sejuk dan terang yang memadai. Satu daya transfigurasi rancangan yang meninggikan bahan alami bambu untuk tidak semata dilihat sebagai bambu tetapi buah karya tangan yang mandiri dan kreatif. Hakikat rancangan arsitektural ditumpukan pada nilai amaliyah-nya. Bukan pada jasad ke-benda-annya. Sehingga dengan itu terhindar dari syirik kultus materialism. Rancangan materi adalah perantara dari buah perbuatan yang secara sengaja ditujukan untuk memberi wadah bagi kelangsungan hidup dan pembinaan anak-beranak dalam setiap jalan yang diyakini.

Di atas tanah berkontur, batu-batu alam bulat kecil disusun damai membentuk pijakan kokoh untuk umpak tiang-tiang bangunan. Seluruh sistem struktur bekerja secara efisien tanpa campur tangan hegemoni industrialis. Sambungan konstruksi dengan sistem ikat takik dan pasak. Atap pelana praktis dengan kemiringan yang luruh derai hujan berlapis ijuk hasil hutan yang sengaja dipelihara di lahan larangan demi sebuah kesinambungan. Satu konsep daur hidup yang sederhana dan dijalankan dengan penuh kesadaran. Tidak ada ketergantungan sejumput pun. Mereka percaya pada kemandirian dan persahabatannya dengan alam. Satu sama lain berbagi secara harmoni. Tak ada celah untuk tinggi sendiri.
Di halaman anak-anak berlarian bermain di sela hewan peliharaan. Di teras rumah dan di seberang gundukan batu yang membentuk sclupture berkerumun para perempuan orang tua mereka dengan kesibukan berkarya. Di seberang yang lain seorang ibu muda sambil menggendong bayinya menenun. Tak ada waktu untuk saling menistakan. Sesama mengikat dalam jalinan kerabat yang tulus. Seluruh hidupnya dipasrahkan pada manfaat.
Setiap mereka hidup sahaja dengan kain serba hitam untuk Baduy Luar dan putih untuk Baduy Dalam. Dua warna yang mereka boleh pakai. Tak ada hasrat yang meledak-ledak ingin melebihi satu sama lain. Mereka betul-betul hidup sedampingan. Tak ada keluh, kecuali tunduk pada kesejahteraan yang mereka bangun dari sistem yang sahaja.

Sayup kami dengar mereka berbincang santun sambil sesekali tersipu memandangi kami yang datang sebagai tamu yang diagungkan. Dengan penuh hormat mereka mengumbar senyum dan tatapan yang tulus. Tanpa disadari, kami dibuncah rindu nuansa damai lingkungan yang terhampar di hadapan kami. Kami mulai bertanya. Dimanakah masyarakat tertinggal itu?
Kami tidak mampu lagi mengurai makna ketertinggalan atas potret yang mereka pamerkan. Kami malu mengendapkan kata tertinggal dalam kosa ilmu kami selama ini. Mereka adalah manusia-manusia agung yang jauh dari keserakahan. Mereka tak hendak meninggikan apa yang rendah. Tak hendak merendahkan yang tinggi. Mereka tak berani melebarkan yang sempit dan tak sudi juga menyempitkan yang lebar. Mereka terima apa yang alam sediakan, dengan sekecil-kecilnya perbuatan. Alam adalah limpahan rahmat yang tak terkirakan.
Tumpang tindih teori kami lahap sepanjang pencarian ilmu kami. Berjenjang-jenjang kami panggul derajat pangkat kepakaran dari berbagai-bagai majelis al-ulum. Namun, kami hanyalah para arsitek kaum borjuasi yang melayang-layang di atas kamuflase kehormatan sujjana. Karena kami tak mampu menunaikan itu semua dalam kenyataan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun