‘Aku di sini masih setia menunggu dirimu! Apakah kau tau?’ Entah mengapa, hati kecilku ini mengajak jiwaku untuk menanti hadirmu di sini. Di kota ini. Kota dimana aku dan kamu pertama kali bertemu. Tempat penuh kenangan antara aku dan dirimu. Kota yang menjadi saksi bisu perasaan kita bertaut.
‘Apa kabar dirimu?’ Bukit bintang ini kini lebih terang dan gemerlap. Jauh lebih indah dari satu windu sebelumnya. ‘Masih ingatkah dirimu?’ di bukit ini kita bertemu setelah sekian tahun tak jumpa. Tepat di hari Sabtu malam yang kala itu langit bertabur bintang nan indah. Saat itu, ada gadis cantik di sisimu. Kau genggam tangannya erat. Asal kau tau, ‘Aku cemburu buta!’. Kau nampak acuh tak peduli dengan ku. Sedikit pun dirimu tak memandangku. Meskipun aku tau, tatap matamu mengisyaratkan kerinduan untukku.
Kala itu aku sengaja datang sendiri. Ditemani hawa dingin yang merasuk hingga kulit terdalamku. Namun tak ku hiraukan. Aku tetap menembus batas itu. Dan berharap agar bertemu denganmu. ‘Ya! Tuhan mengijinkan aku untuk bertemu dengan dirimu.’ Meskipun hanya memandang dari balik punggungmu. Rinduku terobati. Meskipun kau telah bersamanya. Aku tetap bahagia. Sedikit merasa kelegaan karena dirimu terlihat lebih segar. ‘Untaian senyummu pun masih sama seperti dulu…’ meski itu untuknya.
***
Sekarang, di tahun ke sepuluh. Aku masih terus menantimu. Meski terkadang aku merasakan sedikit keletihan. Aku lelah menunggumu di bawah rinai hujan yang basahi bumi ini. Aku letih menantimu yang tak kunjung datang itu. ‘Mengapa kau tak berpaling sedikit pun ke arahku?’ hanya sekedar berharap untaian senyummu terkembang untukku. ‘Salahkah aku?’
Sepertinya, aku ini sudah gila. Pikiranku tak waras. Merindukan sosok yang mungkin sekarang sudah membenciku. Sosok yang pernah membuatku kesal namun aku merindukan tingkahnya. ‘Apa kau rindu padaku jua?’
‘Tolong, hampiri diriku sejenak di sini.’ Aku hanya ingin memastikan bahwa dirimu baik-baik saja di sana bersama dirinya. Aku hanya ingin mendengar pernyataanmu sepuluh tahun silam yang tak tersampaikan padaku. ‘Aku tau, aku memang pengecut kala itu. Maafkan aku tak menemuimu!’ Asal kau tau, perasaanku kala itu hingga detik ini masih sama dan utuh hanya untukmu. ‘Sedangkan dirimu, masihkah utuh perasaan itu, atau sudah kau bagi?’
‘Tolong Tuhan, ijinkan aku berjumpa dengannya. Walau sedetik waktu yang ku miliki..’ air mataku sudah mengering sejak lama. Sejak kala itu. Sejak dirimu meninggalkanku sendiri karena terlalu lama menungguku di tempat itu.‘Tolong Tuhan, aku mohon kabulkan permintaanku..’ Aku berjanji. Aku akan pergi jika memang jalan-Mu mengharuskan aku pergi. Aku hanya rindu selarik senyumnya…’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H